Apa istimewanya uang receh, bernominal
kecil dan hanya membuat berat isi dompet. Belum lagi jika berserakan dan
menggelinding tak mau berhenti. Duh, lebih baik singkirkan saja. Tapi hari itu
saat aku berdiri dibawah terik, sebuah koin bergambar burung garuda menggelinding
syahdu dengan suaranya yang khas, dan memarkirkan diri tepat didepan kakiku.
Aku tertunduk, kemudian menyapu pandangan kesekitar orang-orang yang berbaris
memeganggi gagang motornya. Milik siapa ini? dengan cepat aku injak koin garuda
itu. Tidak ada yang memasang gerak-gerik kehilangan, ya.. aku selalu benar,
uang receh memang tidak terlalu dicari dan dipermasalahkan.
Aku tetap berdiri dan menunggu, bahkan
mulai celingukan memutar leher, entah menunggu apa, aku hanya ingin mencari
raut wajah yang merasa kehilangan, kebingungan, atau apa sajalah yang berkaitan
dengan itu. Tapi nihil, aku lelah berdiri. Kuputuskan untuk memberikan koin itu
pada pak Bonar, cepat sekali beliau datang. Seperti biasa dia sudah duduk
bersedekap sembari menjulurkan wadah kaleng kosong pada barisan yang telah
mendapatkan giliran.
Aku cemplungkan koin garuda itu hingga
menimbulkan suara “Pluk” yang membuat pak Bonar kaget. Rupanya, koin garuda itu
menjadi koin pertamanya untuk hari ini.
“Heh bocah, sedang apa kau ini?
bersedekah?” Pak Bonar bersungut-sungut, memamerkan deretan giginya yang kuning
tak pernah digerilya oleh pasta gigi. ia tidak rela jika koin pertamanya
berasal dari tanganku. Aku hanya bisa terkekeh melihat wajahnya yang tentu saja
tidak pernah pula terguyur air hingga menjadi semakin kusut.
“Walah pak Bonar, jangan kau marahi
bocah ingusan ini, tadi aku nemu, tetapi entah milik siapa” aku menjawab
sembari menggaruk rambutku yang gatal.
“Lalu kenapa tidak kau kantongi saja?
Sudah merasa kaya atau bagaimana kau ini hah? Aku seperti lebih rendah darimu
saat tanganku berada dibawah tanganmu seperti tadi”
“Bukan seperti itu pak Bonar, aku
merasa itu bukan punyaku, wong aku
Cuma nemu kok, takut ngga berkah. Yawis
nggo pak Bonar bae” aku
melambaikan tangan dan berlalu ke pengisian sebelah tanpa menanti jawaban pak
Bonar, bagiku Tuhan telah mengatur rezeki hari ini. dan koin garuda tadi bukan
rezekiku.
Aku mulai menghampiri barisan
orang-orang yang memegangi gagang motor lagi, berdiri menunggu giliran. Kali ini
ada beberapa mobil yang ikut mengantri dibarisan yang berbeda. Seperti biasa,
pagi selalu diwarnai dengan kesibukan kota. Aku juga ingin sibuk seperti
mereka. Baiklah, aku mulai mengalungkan benda itu keleherku, dan menabuhkan dua
kayu yang diujungnya telah kuikat dengan kain, menabuh-nabuh pada dua paralon
yang kedua ujungnyapun kurekatkan karet yang lebar. Ini bukan alat musik, tapi
tak apalah kujadikan sebagai pengiring sibuknya pagi ini. aku siap berburu uang
receh.
Lihatlah, adik kecilku itu sedang
menanti kedatanganku, duduk memangku kaki dibalai-balai reot. Tapi ada yang
aneh, adikku itu makan sembari menangis. Ada apa gerangan? Sontak aku
menghampirinya. “Ada apa? Kenapa menangis?” aku mengusap cucuran air mata yang menetes, adikku tak menjawab. Tetap
makan dari piring seng berkarat dan ya, tetap sembari menangis. “Aku tidak mau
makan dengan nasi basi kak, tapi perutku sangat lapar. Awalnya tadi aku tidak
ingin memakan nasi ini, tapi setelah merasa lapar yang tak terkira aku makan
juga nasi ini kak” ucap adikku sembari tersedu-sedu.
Oh begitu rupanya, aku terenyuh.
Lidahku kelu, bingung hendak berbuat apa. Melarangnya melanjutkan makan nasi
basi itu atau membiarkannya. Hatiku berontak, tapi lisanku tak dapat mewakilkan
dengan kata-kata. Kuputuskan untuk masuk kedalam rumah, mencari sosok ibu.
“Berapa banyak nak?” ibu berucap tanpa menoleh kearahku. “Tidak banyak bu,
hanya beberapa” ucapku sekenanya.
“Yasudah, malam ini kita makan nasi
basi lagi. Kau sudah lihat adikmu itu kan? Dia meraung-raung sejak pagi, lantas
ibu harus bagaimana? Berdiripun tak dapat, ayahmu tak kunjung balik sejak
petang kemarin. Entah mencari uang dimana lelaki itu” Ibu menahan nafas dikata
terakhirnya, aku hanya bisa menatap sosoknya yang mungkin telah lelah
berbaring. Menghabiskan hari berpagut dengan kasur lapuk. Dan aku tahu ibu pasti
sedang menahan laparnya lagi. entah untuk yang keberapa kalinya, aku tidak bisa
merangkai kata-kata untuk mencurahkan segala rasa sesak yang ingin menyembul
keluar dari dadaku. Mungkin juga sudah busuk karena tak mampu kutumpahkan.
Aku berlalu pergi meninggalkan ibu, dan adik
kecilku yang masih menangis di depan rumah. Senja ini, kuputuskan untuk kembali
ke tempat berburu koin lagi. Berharap dapat memperbaiki “Kualitas nasi” yang
ibu dan adik makan untuk malam ini.
Matahari mulai tergelincir, semua
bergegas pulang, terkecuali aku yang justru bergegas melawan arus. Pak Bonar
sudah meringkuk dipojok selokan. Ah Tuhan.. jadikan aku anak yang pandai
bersyukur. Paling tidak masih ada atap yang sudi dijadikan tempat untukku dan
keluargaku bernaung. Tapi tak ada yang membedakan, kamilah penyandang status
itu, dibalik ratusan profesi dan nama julukan didunia ini. kami hanya layak
mendapatkan status “Orang-orang miskin”. Yang berharap banyak dari uang receh
yang bagi sebagian besar orang diabaikan, tapi bagiku atau bahkan bagi kami
orang-orang miskin, satu uang receh bernilai satu langkah pengharapan untuk
kami agar tetap memiliki impian untuk hidup. Biarkan kami mengais-ngais bak
sampah, gelandangan? Biarkan kami dijuluki demikian, tak perlulah bagi kami
mengemis dan berteriak akan keadilan. Yang entah darimana datangnya, dan yang
tak tahu harus berasal dari uluran tangan siapa. Biarkan uang receh menjadi
pengharapanku. Impianku hanya satu, membuat kualitas makanan untuk ibu dan
adikku, menjadi lebih baik. tanpa ada campuran ketidakjujuran dan menunggu
berkah serta rezeki dari Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar