Selasa, 12 Mei 2015

Namaku Uang


“Namaku uang”

Ya, namaku uang, aku tipis dan terbuat dari kertas. Menurutku aku sama sekali tidak menarik, tapi kenapa hampir seluruh manusia di dunia berlomba-lomba mencariku? Aku tidak mengerti. Aku juga sering di jadikan sebagai alat pengukur dari tinggi rendahnya derajat seseorang, semakin banyak jumlahku ditangan seseorang, maka semakin tinggi pula derajatnya, kenapa harus aku? Sesungguhnya manusia di mata Tuhan memiliki derajat yang sama, bahkan sebagian manusia memujaku melebihi Tuhannya sendiri.  Tugasku di dunia ini hanya menjadi alat tukar yang sah, aku juga bertugas untuk melayani manusia, tapi kenapa sepertinya manusia yang sepertinya melayaniku? Aku dicari dengan segala cara, dan bahkan dengan cara yang salah,, aku bukan uang haram, tapi cara mereka yang haram. Seringkali aku dituduh sebagai penyebab dari tindak kejahatan yang dilakukan oleh manusia, perampokan, pembunuhan, hampir semuanya hanya demi untuk mendapatkanku, diluar sana juga banyak wanita yang rela menjual tubuhnya. Ya,, karna aku. Suami istripun banyak yang sering bertengkar dan kemudian berpisah  hanya karna aku tidak ada di dompet dan di saku mereka, anak-anak juga putus sekolah gara-gara aku, “Manusia berdasi” itu juga sangat tergila-gila terhadap kehadiranku, mereka tidak pernah puas saat aku sudah berada di dompet mereka yang penuh sesak.
 Jika boleh memilih, aku akan berpindah tempat kepada orang yang lebih bisa menghargaiku, kepada orang yang bekerja keras siang dan malam dengan cara yang halal untuk mendapatkanku, dan jika bisa, aku juga akan berpindah tempat kepada orang yang  lebih membutuhkanku, kepada mereka yang hanya memilikiku beberapa lembar saja, dan bahkan tidak memilikiku sama sekali, agar tidak ada lagi kemelut dan perselisihan yang dilakukan oleh manusia, agar tidak ada lagi sebutan untuk “Si kaya” dan “Si miskin”, jika kedua hal itu terjadi hanya gara-gara aku, lebih baik aku di bagi sama rata kepada manusia diseluruh dunia ini, tapi semua itu tidaklah mungkin. ingin rasanya berteriak kepada manusia yang tergila-gila terhadapku, sesungguhnya aku ini tidak abadi, aku hanya bisa menemani kalian didunia ini saja, hanya bisa memberikan kesenangan yang bersifat sesaat, dan aku juga tidak bisa menjanjikan kebahagiaan yang kekal, saat kalian “Pulang” kalian tidak bisa membawaku, dan aku juga tidak akan bisa memberikan kebahagiaan yang sama untuk ”Kehidupan” kalian yang selanjutnya, apalagi memberikan pertolongan untuk kalian.
Pandanglah aku sewajarnya saja. aku bukan Tuhan, aku juga bukan surga di dunia dan di akhirat, aku hanya bagian di kehidupan kalian saat ini, kelak aku juga bisa menjadi saksi di pengadilan Tuhan bagaimana cara kalian bisa mendapatkanku. ingatlah,, aku hanya benda bernama “Uang” .



Top of Form

Bottom of Form

Jumat, 08 Mei 2015

Dunia Kedua yang Tak Redup


            Dunia, bagi sebagian orang mungkin yang akan terlintas di benak mereka adalah suatu tempat yang luas, penuh warna di setiap jengkal penyusunnya, tragedi kehidupan fatamorgana, tiupan mukjizat, bahkan malapetaka berkolaborasi menjadi partikel-partikel yang sulit untuk dijabarkan. Dunia, bola besar yang berputar tapi tak bisa menggelinding. Apakah itu sempurna? Tidak. Dunia, berisikan planet-planet yang bertetangga namun hanya satu yang di huni. Apakah itu adil? Jelas tidak. Intinya dunia ini luas, lebih jelasnya lagi bumi ini tidak sempit. Benarkah demikian? Aku pikir tidak, tapi mungkin juga iya. Ah entahlah... imajinasi ini membuatku seperti anak kecil, mengaduk-ngaduk isi kepalaku seolah-olah komponen didalamnya berteriak-teriak membuat pening. Bagiku ini berisik, sempurna menciptakan rasa sakit yang berdenyut-denyut. Jika sudah begini, hanya obat sakit kepala yang dapat menjadi dewi fortuna. Ah, aku bahkan benci obat sakit kepala.
            Aku mengarahkan pandanganku pada titik-titik air yang menginjakkan kakinya di pelataran bumi. Mereka tidak membuat basah apalagi menggenangkan diri hingga berkubang. bulir-bulir air itu hanya turun sedikit demi sedikit, menjatuhkan diri secara perlahan tanpa bernyanyi, tanpa menimbulkan suara gemericik yang membuat manusia mendesah kesal ditengah aktivitasnya, mereka datang dengan diam. Mengarahkan pandangan vertikal kebawah dan ingin segera meluncur terhempas tanpa ada yang mengetahui, tanpa perlu menelanjangi diri saat muncul bersamaan dengan penguasa siang. Mereka tahu, tak seharusnya mereka datang. Hatiku bergeming, mataku memincingkan diri ketika mendongak pada atap bumi, yang kulihat adalah langit berwarna biru dan matahari yang sedang menjalankan tugasnya dengan baik. Sungguh hari yang cerah, lalu mengapa mereka menjatuhkan diri?
            “Ayah, mengapa mereka datang? Bukankah itu sama saja mereka telah ikut campur dan merusak tugas matahari?” Aku menatap ayahku yang masih sibuk mengaduk-ngaduk pupuk di pelataran, di belakangnya telah berjejer rapih berbagai macam bunga yang terlihat sangat terawat. Baginya, bunga adalah lambang keindahan yang sebenarnya didunia ini. Cita-citanya sedikit tidak lazim bagi yang belum mengenal sosoknya dengan baik, bahkan akan terdengar sangat lucu jika mengingat usianya yang telah menyandang status seorang ayah. Ia tidak ingin menjadi orang kaya, pejabat, ataupun sesuatu hal yang berbau harta dan kekuasaan. Cita-cita ayahku ingin melihat seluruh bunga yang ada di berbagai penjuru dunia. Saat mendengar hal tersebut untuk pertama kalinya, aku terkekeh hingga perutku terasa sangat sakit. Tapi ayah hanya tersenyum, melihat senyumnya yang teduh dan menyejukkan, Hatiku luluh dan lisanku sontak terdiam. Saat itu, aku menyadari satu hal besar dalam diri ayahku.
“Apa yang jatuh Syanda?” Ayahku menatapku menyelidik, aku mengulurkan tangan kananku dan menunjuk ke atas langit.
            “Hujan? lalu mengapa? Mereka tak pernah bermaksud merusak tugas matahari. Peristiwa alam yang telah membuatnya terpaksa turun. Apakah kau tahu nda? matahari selalu berbaik hati pada seluruh penghuni dunia ini”. Ucap ayahku sembari menuangkan pupuk dan air kedalam pot-pot bunganya yang telah haus.
            “Matahari selalu berbaik hati memberikan kehidupan pada makhluk dibumi dengan ketulusan sinarnya, ia juga rela membagi cahayanya pada bulan agar mampu terang di malam hari, sedangkan dirinya sendiri membenamkan tubuhnya kesisi lain bumi. Bahkan, matahari tak pernah marah saat bulan masih menampakkan diri di pagi hari. Dan seperti saat ini, pada hujan yang seharusnya tidak datang saat ia masih memancarkan sinarnya. Berlakulah seperti matahari nda” Ucap ayahku diakhiri dengan senyum yang menyejukkan itu lagi. Aku tertegun.
Televisi putih besar dan tipis itu kini telah berdesakan oleh berbagai macam aksara dan angka. Audionya hanya bersumber dari seseorang berperawakan tinggi berkepala pelontos yang suaranya terdengar menggema ditelingaku. Sesekali aku mengerutkan dahi, mengangguk pelan, menyerap kata-kata dari beliau, menuliskan beberapa angka, berusaha memahami setiap rumus yang dituliskan dengan simbol-simbol yang menurutku sangat aneh, aku juga benci matematika. Entah mengapa banyak hal di dunia ini yang aku benci. Tapi aku akan terus menjebloskan rumus-rumus itu kedalam otakku tanpa ampun. Aku harus pulang tidak dengan tangan kosong. Bukan karena sekolah itu mahal, tapi karena aku sadar ilmu harus aku beli dengan lembaran uang yang aku ulurkan ditiap awal bulan. Dan aku percaya uang yang telah aku keluarkan tidak akan hilang tanpa arti, tapi akan dibarter menggunakan ilmu yang kujebloskan kedalam otakku hingga tersumpal berdesakan.
Mataku menyapukan diri ke sekeliling ruangan ini. Lihatlah wajah-wajah itu, aku yakin mereka tidak pernah sungguh-sungguh berada disini. Aku selalu membenci mereka, orang-orang yang tak pernah bersyukur atas apa yang telah mereka genggam dengan tangannya, tak pernah puas dengan sesuatu yang telah berdesakan digenggaman kedua tangan mereka, mereka selalu berusaha menggenggam lebih banyak dari yang mereka bisa, padahal manusia hanya dikarunia dua tangan oleh Tuhan, mereka lupa pada orang-orang yang bahkan tidak bisa menggenggam apapun ditangannya, tak pernah menjadi takaran untuk bersyukur. Aku membenci seluruh penghuni di kelas ini. Teman? Itu kata paling buruk bagiku, peduli apa seorang teman saat aku sedang dirangkul oleh keterpurukan, yang mereka bisa hanya berpura-pura berempati dan membuat lekukan pada garis diwajah sehingga tercetak sempurna membentuk wajah yang sedih. Lalu dengan begitu apakah mereka benar-benar sedih dan peduli? Tentu saja tidak!
            Terhitung satu minggu aku duduk di kelas ini. masa-masa SMA memang telah terdoktrin dengan kesan yang indah. Berteman dengan banyak orang, aktif organisasi, dikenal oleh guru, populer di sekolah, dan menjalin kisah-kasih yang indah. Bah! Bagiku semua itu hanya klise, dihari pertama aku masuk sekolahpun aku hanya melempar tatapan sinis pada anak-anak yang tersenyum padaku, dari sorot mata mereka aku bisa membaca beberapa kata seperti “hai, siapa namamu?” tapi yang aku lakukan hanyalah menatap tajam dan membuang tatapan ke arah lain. “Jangan pernah bicara padaku” Sungguh, aku tidak main-main.
            ***
            “Ndaaa.. daa, ndaaaaa” Suara itu terdengar lagi, walaupun hanya erangan tetapi suara itulah yang membuatku tetap bertahan menjejakkan kaki di dunia ini, sesungguhnya aku tidak ingin lagi menumpang hidup pada Tuhan, aku tahu setiap jengkal didunia ini adalah milik-Nya. Tapi sekali lagi sungguh, jika bukan karena suara itu masih aku dengar hingga saat ini, aku selalu ingin “pulang”. Matanya menatapku sendu, aku tahu persis arti tatapan itu, “kau sudah pulang nak?”. Aku terduduk tepat didepannya, bersimpuh mencoba bersikap normal dan bertingkah laku seolah semua baik-baik saja. Kualihkan tatapanku pada kedua kakinya yang tak lagi bisa menjejakkan diri pada bumi, sebagai gantinya dua roda bertempat duduk yang dirancang sedemikian rupalah yang telah mengambil alih fungsi dari kedua kaki yang kini terlihat semakin layu. Yang ia bisa kini hanyalah menatap taman bunganya yang sudah tidak terawat lagi. wajahnya selalu tenang, tapi menyimpan jutaan ekspresi yang tak pernah bisa tersampaikan, syaraf-syarafnya sempurna terdiam dan membeku, seluruh tubuhnya telah mati, hanya tersisakan erangan dan jiwa yang masih setia mendiami raganya.
 Kata orang penyakit ini dijuluki penyakit kutukan dari Tuhan, dan penderitanya akan dianggap seseorang yang telah melakukan kejahatan dan dosa didunia yang tak termaafkan. Oleh karena itu Tuhan memberikan hadiah melalui penyakit ini sebelum menyiksanya di akhirat nanti, siksaan di dunia dan akhirat tepatnya. Rasanya hina sekali orang-orang yang mengidap penyakit ini. Tapi ayahku bukan orang seperti itu, tidak! Jika apa yang orang-orang katakan selama itu benar, aku yakin ayahku adalah pengecualian Tuhan.
            “Iya ayah, aku sudah pulang. Ayah sedang apa disini? Bukankah ini waktunya untuk beristirahat? Ah lihatlah matamu terlihat merah dan lelah, apakah ayah sudah makan? Dimana zey? A..a...” Aku tercekat, lupa jika aku terlalu banyak bertanya seolah ayahku dapat menjawab semua pertanyaan itu. Seketika mulutku terhenti, diikuti oleh erangan yang ayah ujarkan lagi. “Ndaaa..ndaaaa, daaaaaa” aku tahu ia ingin menjawab pertanyaanku, tapi hanya erangan itu yang dapat mewakilinya. Hatiku terasa sangat perih.
            Aku masih terngiang akan perkataan ayah tiga tahun lalu, saat tangannya masih cekatan mengaduk-ngaduk campuran pupuk yang baunya sungguh sangat menyengat, saat lisannya masih mengeluarkan kata-kata yang membuatku merasa damai, saat senyumnya mampu merangkul hati putrinya ini menjadi bersih dan bersinar seperti matahari. Hingga semuanya berakhir ketika ayah bahkan tak bisa tersenyum lagi. Jangankan menjadi matahari, aku justru menjadi membenci seluruh hal didunia ini, kecuali ayah. Hanya dia pengecualianku. Aku seperti berdiri dengan satu kaki, bertumpu pada satu tungkai yang telah rapuh, aku merasa semangatku terserap oleh pusat bumi, hingga aku tak bisa melawan tekanan gravitasi, aku mengapung di dunia yang besar ini. jiwaku tinggal separuh, sebagian nyawaku berada pada jiwa ayah yang telah hilang.
 “Ayah, dimana zey? Bukankah dia seharusnya menjagamu disini? Ah awas saja jika dia pulang nanti” Aku mengulang lagi pertanyaanku, sungguh geram aku pada bocah tersebut, sesungguhnya hanya dia yang bisa aku andalkan menjaga ayah saat aku berada disekolah.
“Peduli apa dia pada ayahnya yang dianugerahkan kutukan dari Tuhan-Nya sendiri? Jelas saja dia malu” Suara itu terdengar dari ambang pintu. Wanita itu sudah pulang, aku hanya bisa mendengus perlahan.
“Kau bisu? Untuk apa aku gelontorkan kertas-kertas berharga itu jika kau hanya bisa mendengus seperti binatang, hanya itu yang kau bisa dari sekolahmu?” ia menatapku tajam dan berlalu pergi, sedangkan aku masih duduk bersimpuh dikaki ayahku. Ingin rasanya aku membalas perkataan ibu, tapi tidak! Aku harus bertahan. Aku hanya harus diam, jika aku berontak, aku tahu aku tidak akan bisa sekolah jika tanpa uang darinya,  aku merasa muak. aku sangat membenci sekolah, tapi aku harus pergi ke sekolah, karena ayah pernah mengatakan bahwa dunia akan takluk dan selalu terasa luas pada wanita yang cerdas.
Aku tidak tahan lagi, aku sudah terbiasa tidak mempedulikan kata-kata ibu. Bagiku itu hanyalah nyanyian sumbang yang jika aku biarkan masuk akan merusak gendang telingaku, dan merobek ulu hatiku lebih dalam, yang saat ini aku pikirkan adalah zey, ia sungguh sangat tidak bisa diandalkan. Bagaimana bisa dia menelantarkan separuh nyawaku ini? ayah tidak akan bisa melakukan apapun sendirian dengan kondisinya yang sekarang. “Sebentar ayah, aku akan pergi keluar dahulu” aku bergegas pergi meninggalkan ayah dan berusaha melangkah secepat mungkin. Aku tahu dia berada dimana.
Dari teras aku melihat kedua orangtua itu di muka rumah mereka. Ah, lihatlah.. pasangan yang sudah tidak muda lagi itu terlihat sangat bahagia. Selalu ada senyum dibibir keduanya saat aku berkunjung. Tapi aku tahu, senyum itu adalah bukan perwakilan dari maksud hati mereka yang sebenarnya.
“Nda, ada apa kau kemari? Kau sudah makan nak?” ucap kakek tua itu dengan perangai yang baik namun penuh kepalsuan bagiku. “Dimana zey? Mengapa kalian selalu memaksanya untuk kesini?” bukankah aku sudah melarangnya?! Nada bicaraku sedikit tinggi, aku sudah tidak mampu lagi membendung perasaan yang telah memuncak. Hatiku mendidih dan meluap-luap.
“Tenanglah nak, zey tadi kemari sendiri, bukan kami yang memaksanya. Dia terlihat lapar, oleh karena itu kami memberinya sedikit makanan yang kami punya. Lalu ia tertidur. Dia ada didalam, kami tidak menyembunyikannya” Nenek tua itu menjawab dengan tenang, diikuti oleh anggukan suaminya yang sepaham dengan perkataan istrinya tersebut.
“Lalu, bisakah kalian berhenti mencampuri urusan keluargaku? berhentilah menanti-nantikan kedatangan zey, berhentilah melongok ke arah rumah kami demi mencari sosok zey, berhentilah berpikir jika semuanya bisa seperti dahulu saat zey dan aku sering bertandang ke gubuk ini, berhentilah tersenyum padaku, berhentilah berharap bahwa zey bisa menjadi anak kalian! Apakah itu sulit? Apakah karena Tuhan tidak meniupkan kehidupan pada rahimmu lalu kau berharap mengambil adikku nek? Berhentilah bersikap seolah keadaan ini sama seperti dahulu! Zey harus menjaga ayahku!!!”
Aku menerobos masuk dan memaksa zey untuk bangun dan menyeretnya keluar, kakek dan nenek itu hanya terdiam. Zey meronta-ronta berusaha melepaskan tanganku. Aku benci keadaan ini, aku benci kakek zul dan nenek ida, aku yakin mereka ingin mengambil zey. Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi, aku tidak bisa berlaku baik lagi pada kakek zul dan nenek ida seperti dahulu, aku harus bertahan dengan keadaan ini walaupun aku sendiri membencinya. Demi ayahku, apapun akan kuterjang, siapapun yang menghambatku akan kujatuhkan.
Zey menangis hingga tersedu-sedu, tapi aku sama sekali tidak berusaha untuk mengasihaninya. Raut wajahnya merah, matanya sembab, dia duduk di sudut ruangan menekuk kaki dan memeluk lututnya sangat erat. Aku tidak berusaha untuk peduli, tapi sikapku ini sangat beralasan, aku tidak ingin zey tumbuh menjadi lelaki yang lemah dengan kondisi keluarganya yang sekarang, entah apakah penghuni dirumah ini masih layak dikatakan sebuah keluarga, aku tidak mengenali kata itu lagi semenjak kematian separuh jiwa ayahku. Zey tidak kuperbolehkan untuk sekolah, jika zey sekolah dia akan duduk di bangku sekolah dasar, bagiku ayah lebih penting. Zey harus menjaga ayah selagi aku sekolah. Ini bukan diskriminasi, aku juga tidak ingin pergi ke sekolah, tapi dulu ayah selalu menasihatiku agar rajin pergi ke sekolah. Tentu saja aku tidak ingin mengecewakan ayah. Dan zey bisa belajar denganku dirumah.
 Lagi, suara hentakan tombol-tombol itu terdengar mengiris-ngiris benda didalam organ tubuhku, sudah sangat lama benda itu bertahan. Meneteskan darah sedikit demi sedikit, tersayat dan terkoyak berkali-kali hingga tidak ada lagi darah yang dapat menetes, hatiku telah kering, tidak lagi berfungsi dan kebas oleh rasa sakit. Tapi malam ini, jiwaku terpelintir oleh sosok yang sangat semu dalam rumah ini, kedua tangannya masih terampil menghentakkan kata-kata dengan jarinya yang lihay didepan layar bercahaya yang membuat keluarga ini terasa hambar. Apakah aku durhaka Tuhan? Aku bahkan tidak pernah bisa memuliakan ibu, saat aku menatap wajahnya justru selalu terbesit rasa sesak yang tidak terkira. Pekerjaan yang selalu diagung-agungkan olehnya telah membuat ayahku hanya bisa terduduk tidak berdaya, tanpa dapat bergerak, tanpa berjalan, bahkan tanpa senyuman. Wajahnya tak lagi simetris, stroke. Penyakit kutukan itu tidak mengutuk ayah, tapi justru mengutuk diriku menjadi seperti ini, menjadi membenci seluruh partikel yang ada didunia yang sempit ini. Aku tidak pernah bisa mengerti bagaimana paradigma ibu mengenai hidup, yang aku tahu hanyalah ibu bukan bekerja untuk hidup seperti yang orang-orang lakukan, tapi hidupnya hanya untuk bekerja, bukan materi dan kekayaan yang ibu cari, tapi karena sudah terlalu cinta atau bahkan gila bekerja, ibu telah terperosok dan melawan arus terlalu jauh pada takdirnya sebagai seorang wanita. Aku tidak pernah bisa mendefinisikan apa arti kata ibu, tidak ada cerita tentangnya di otak kanan maupun di otak kiriku, bahkan jika digeledah sekalipun.
            Ini bukan salah ayah, tapi mengapa harus ayah yang menanggung semuanya? Bahkan setelah ia mengalah pada ibu dan rela harga dirinya sebagai seorang laki-laki dan kepala keluarga diinjak sangat dalam oleh ibu dengan kegilaannya pada pekerjaannya itu. Sebagai seorang kepala keluarga tentu saja ayah memiliki tanggung jawab yang sangat besar pada hal urusan menafkahi kami, dan ibu bertanggung jawab untuk mengurus aku dan zey. Kurang lebih seperti itulah garis takdir kehidupannya, tapi ibu berontak akan takdirnya sebagai seorang wanita, ia bersikeras untuk bekerja disuatu perusahaan besar dan menjadi seorang sekretaris yang tentu saja sangat menyita waktunya. Awalnya ayah tidak melarang, ayah sadar betul akan hak emansipasi wanita dan ayah juga bukan penganut diskriminasi. Tetapi karena kecintaannya pada pekerjaan, ibu lupa waktu dan menjadi lupa diri. Bahkan ibu menjadi lupa pada kami, pagi hingga sore hari ibu berada dikantor, petang hari ibu melanjutkan pekerjaannya yang belum selesai di rumah dan kembali sibuk berkutat dengan tombol-tombol dan layar yang bercahaya itu lagi hingga larut malam. Seperti itu setiap harinya hingga aku dan zey terbengkalai, ibu berpikir dengan adanya pembantu rumah tangga semuanya akan beres dan selesai, tetapi itulah awal malapetaka bagi keluarga ini.
Saat itu zey yang masih berusia empat tahun jatuh dari atas balkon setinggi tiga meter ketika sedang bermain, tubuh zey tergeletak dengan darah bercucuran dari kepala dan terlentang mengenaskan di teras rumah tanpa ada yang mengetahui, selang beberapa jam kemudian ketika ayah pulang bekerja, zey baru ditemukan dan segera dilarikan ke rumah sakit oleh ayah yang berlari pontang-panting menggendong anak bungsunya itu.
            Ayah berdiri terpaku, kakinya seolah tertancap sangat dalam hingga ia tak bergerak, tatapannya kosong, tetapi pikirannya sangat semrawut, tangannya refleks menggurat dinding disampingnya. Ayah mencerna lagi kata-kata ilmiah yang dikatakan lelaki berjas putih itu, ia sama sekali tidak mengerti. Yang ayah tahu hanyalah Zey mengalami gangguan pada otaknya setelah kecelakaan tadi. Aku menggenggam tangan ayah, memahami arti dari tatapan matanya yang kosong. Aku tahu ayah sangat terpukul, dan aku telah berkali-kali menyalahkan diri karena pulang sekolah terlambat hingga Zey terjatuh. Kini aku hanya bisa terdiam menemani diam yang ayah ciptakan, entah apa yang sedang berkecamuk dalam benak ayah, tapi aku tahu ayah tidak akan menyalahkan pembantu yang mungkin lalai atas insiden ini. Ayah selalu bijaksana dalam bertindak dan bicara, lalu siapa yang patut disalahkan? Hatiku berdegup, lalu mulutku berbicara seolah tanpa komando dariku “Ayah, dimana ibu?”, ayah menatapku sejenak tanpa berkata apapun, yang ayah lakukan hanya menggenggam erat genggaman tanganku dan tersenyum padaku, dan aku tahu arti senyuman ayahku itu, senyuman ayahku selalu memiliki arti tersendiri, dan aku selalu bisa membaca arti dari senyum itu. Bayangkan, disaat seperti ini ayah masih mampu tersenyum walaupun aku tahu itu bukanlah arti dari definisi tersenyum yang sebenarnya.
            Setelah kejadian tersebut ayah memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya, hal tersebut sangat menampar jiwa ayah karena ia harus merelakan dan menurunkan mahkota kepala keluarga yang seharusnya mencari nafkah demi anak istrinya. Ayah mengizinkan ibu untuk tetap bekerja, karena ayah tahu ibu tidak akan patuh pada perkataannya jika harus berhenti bekerja, apalagi jika alasannya untuk menjaga dan mengurusi aku dan Zey. Ayah tidaklah bahagia atas keputusannya tersebut yang telah membuat dunia seolah menjadi terbalik, ibu bekerja dan ayah menjaga kami dirumah. Tentu saja jiwa dan naluri ayah sebagai seorang laki-laki sangat berontak karena keputusannya ini sangat berseberangan, tapi disisi lain ayah takut terjadi hal yang lebih buruk lagi pada zey ataupun pada kami, ayah juga tidak ingin kami tumbuh dengan rasa haus akan kasih sayang dan perhatian dari orangtuanya. Oleh sebab itu ayah mengalah, dan melampiaskan seluruh perasaannya dengan mulai menanam dan merawat taman bunga setiap harinya.
 Aku dan Zey sangat bahagia karena ayah selalu ada di rumah menjaga kami, Zey yang saat ini mengalami sedikit keterbelakangan mental entah mengapa hanya mau bersikap baik pada ayah. Tetapi seiring berjalannya waktu ayah dan aku mulai bisa menghadapi semua tingkah laku Zey yang tidak seperti dulu, sedikit ada rasa sedih terbesit dipikiranku, sungguh malang adikku yang lucu ini. Lambat laun rupanya Zey mulai terbiasa dengan kehadiranku dan tetangga kami yang sering bertandang ke rumah, ataupun sebaliknya. Kakek Zul dan nenek Ida sangat baik, mereka bahkan selalu menyempatkan diri bermain dan membawa Zey kerumah mereka, ayah tidak keberatan akan hal tersebut, ayah bilang kakek Zul dan nenek Ida tidak memiliki anak, aku mengangguk maklum atas penjelasan ayahku. Dan setelah aku amati, ternyata selama ini Zey selalu merasa takut apabila bertemu dengan orang yang jarang bersamanya, hingga akhirnya ia selalu berontak dan berteriak-teriak. Itu terjadi ketika ibu pulang saat malam, Zey tiba-tiba berteriak dan menangis ketika melihat ibu. Dari situ aku menyadari, ibu hanyalah orang asing di rumah ini bagi Zey, juga bagiku.
 Bertahun-tahun ayah menjadi sosok orangtua yang sangat sempurna bagi aku dan zey, mungkin bagi orang lain ini akan terdengar sederhana, tetapi inilah kenyataan besarnya, ayah telah merangkap tugas seorang ayah dan juga ibu dengan sangat baik. Saat itu, dunia masih terasa sangat luas bagiku, tetapi setelah jiwa ayah hilang separuh, dunia seketika menyusut dan terasa sangat sempit.
“Ayah ingin ke taman kak” aku menoleh pada suara yang jarang aku dengar itu, Zey memang jarang berbicara, hanya seperlunya saja. Dia selalu menutup diri pada semua orang, terkecuali ayah, dan semenjak ayah tidak lagi bisa bicara, Zey semakin jarang berbicara, tetapi Zey seolah tahu dengan keinginan ayah yang hanya ayah ucapkan dalam hati. Inikah ikatan batin? Entahlah.. dunia ini terlalu sempit hingga tidak ada celah untukku memikirkan hal tersebut.
“Baiklah, kakak bantu membawa ayah ke taman” aku mengiyakan dan mendorong kursi roda yang ayah naiki ke pelataran rumah. Aku menatap taman yang selalu ayah rawat dengan baik tiga tahun lalu itu dengan nanar, tidak ada yang merawat bunga-bunga ayah. Hal yang selama ini ayah agung-agungkan telah kehilangan pesonanya. Jangankan kelopak bunga yang merekah, yang kini terlihat hanyalah dahan-dahan kering yang telah meranggas. Aku merasa bersalah membiarkan ini terjadi, tapi aku bisa apa? Aku tidak cukup terampil untuk merawat taman ini, walaupun hanya sekedar menumpahkan air pada bunga-bunga itu, aku merasa benci ketika melihat warna-warna indah dari bunga-bunga yang mengembangkan mahkotanya. Sedangkan hidupku tidak seindah bunga-bunga itu. Biarlah mereka mengering dan meranggas. Tetapi darahku berdesir ketika melihat wajah ayah yang tentunya merasa sangat sedih, bukan hal yang mustahil jika hanya taman bunga ini yang dapat membuat ayah bahagia. Lagi-lagi aku mengutuk diriku sendiri.
“Zey, bisakah kau menjaga ayah sebentar, kakak ingin pergi ke suatu tempat. Tunggulah disini bersama ayah” mendengar perkataanku zey hanya mengangguk. Aku bergegas melangkah keluar rumah, aku seperti baru saja dibangunkan dari mimpi yang membuatku terjebak. Aku sadar sepenuhnya, mungkin hanya ini satu-satunya hal yang bisa kulakukan untuk membuat ayah bahagia, walaupun aku tidak bisa mengajaknya melihat seluruh jenis bunga yang ada didunia, tapi aku yakin aku bisa membuat ayah tersenyum walaupun senyuman itu hanya tersimpan didalam hatinya. Aku kembali ke rumah beberapa saat kemudian sembari membawa sesuatu, tetapi tidak di sangka zey menghalauku untuk masuk dari gerbang rumah.“Kak syanda jangan masuk!!” melihat tingkahnya aku merasa sangat geram dan memarahinya, dari kejauhan aku bisa melihat ayah tengah duduk tertunduk di taman seorang diri sama seperti posisi semula. “Ada apa? Mengapa pula aku tidak boleh masuk? Mengapa ayah kau tinggalkan sendirian disana?!” nada suaraku semakin tinggi. “Jangan ganggu ayah! Ayah sedang melihat bunga yang ada didunia” Zey meracau tidak karuan, aku semakin merasa marah dan menerobos masuk menemui ayah. Aku mengulurkan sesuatu yang tadi aku beli pada ayah. “Ayah, ini Syanda bawakan bibit bunga dan pupuk, nanti Syanda bantu tanamkan di taman ini, pasti ayah sedih karena taman ini sudah tidak terawat” aku mengguncang lengan ayah sembari tersenyum, ah baru kali ini aku dapat tersenyum lagi.
Ayah tertunduk dan tidak membalas perkataanku, aku merasa ini sangat tidak wajar. Apakah ayah tertidur? Aku mengguncang-guncang lagi lengan dan bahu ayah. Tidak ada respon, aku menyadari tangan ayah terasa sangat dingin. Aku mulai gemetar. “A..a..ayah?”  ayah sama sekali tidak menjawabku. Ia sempurna terdiam. Diam yang membuat detak jantungku berhenti dan kemudian berdegup sangat cepat, bagaimana bisa? Aku mengangkat wajah ayahku, matanya terpejam rapat, rapat sekali seperti orang tidur, mataku seketika terbelalak, aku melihat ayah tersenyum! Tiba-tiba saja tulang-tulangku seperti dilolos satu persatu. Bibit bunga dan pupuk yang aku pegang jatuh berhamburan. Aku menyadari separuh nyawaku telah pergi. Aku menangis dan berteriak sejadi-jadinya, sementara zey hanya melihatku dibalik pintu pagar dengan diam.
Setelah kepergian ayah, ibu semakin jarang di rumah, aku tidak tahu apakah ibu merasa sedih atau tidak, aku tidak peduli. Tapi aku tahu ibu sama sekali tidak menitikkan air mata untuk melepas kepergian ayah. Jangan tanyakan bagaimana kelanjutan hidupku, jika mayat hidup itu memang ada, akulah mayat hidup itu. Ragaku hidup tetapi jiwaku sepenuhnya telah mati. Aku merasa gila, hanya ayah satu-satunya alasan bagiku untuk tetap menjejakkan kaki di bumi ini, aku ingin ikut. Mengapa ayah tega meninggalkanku sendirian di dunia yang semakin terasa sangat sempit ini? apakah aku harus mengakhiri hidupku? Itu tidaklah mungkin, karena aku tahu jika hal itu aku lakukan aku akan dilempar ke neraka setelah diakhirat nanti, sementara aku yakin ayah pasti telah berada di surga. Jika itu terjadi aku tidak bisa bersama ayah walaupun didunia yang lain sekalipun. Aku tidak ingin melakukan hal bodoh tersebut. Tetapi sampai kapan aku hidup? Sampai kapan aku berada di dunia yang sempit ini? kali ini, tidak ada lagi sandaran ataupun tumpuan agar aku bisa tetap berdiri, aku tersuruk dan terseok-seok melewati kehidupan.
“Kak syanda, kakak tidak sekolah?” Zey menghampiriku yang sedang menyiram air dan memberi kehidupan pada bunga-bunga yang bermekaran. Aku tidak menjawabnya, lagi-lagi dunia terasa terbalik. Setelah kepergian ayah, Zey justru semakin sering berbicara, dan aku selalu diam seribu bahasa. Aku memang tidak berniat lagi untuk pergi ke sekolah. Untuk apa? Aku memutuskan untuk menutup diri dari semua orang, dan dari semua partikel didunia ini. biarkan aku sendiri hingga ayah berbaik hati menjemputku suatu saat nanti.
“Kalau begitu, apakah aku boleh pergi ke sekolah?” zey berkata dengan sangat hati-hati, dia tahu betul kondisiku saat ini. “Apa alasanmu? Silahkan saja” aku menjawab dengan datar, tatapanku selalu kosong. “Baiklah, tidak apa-apa kalau kakak tidak pergi ke sekolah, dengan begitu kakak tidak akan menjadi seperti ibu, dan biarkan aku bersekolah kak, agar aku kelak tidak seperti ayah” Mendengar perkataan Zey aku menatapnya sangat lama, aku tidak mengerti maksud perkataannya. “Iya kak, agar kelak saat kakak dewasa dan mempunyai keluarga, kakak tidak akan seperti ibu yang selalu bekerja tanpa kenal waktu dan menelantarkan anak-anak dan suaminya, dan aku ingin bersekolah setinggi mungkin agar aku tidak seperti ayah yang hanya diam dirumah menjaga kita walaupun karena terpaksa karena perilaku ibu, aku tidak ingin kakak dan aku mengikuti jejak ayah dan ibu”
Aku merasa ditampar sangat keras oleh perkataan zey, dia benar. Aku tidak menyangka walaupun ia sedikit keterbelakangan mental tetapi selama ini ia mampu membaca takdir lebih baik daripada aku. Walaupun aku tetap sekolah sekalipun, tentu saja aku tidak akan mengikuti jejak ibu. Biarlah semua ini berlalu, aku tidak lagi menyalahkan ibu terlebih lagi ayah. Aku tidak berhak membuat sekat dan menghalangi zey untuk menggenggam dunia yang selalu terasa luas bagi orang yang mempunyai harapan. Aku mengangguk pada adikku itu, kabut hitam dikedua mataku telah tersapu oleh harapan yang zey hembuskan. Aku mengetahui lagi bagaimana cara tersenyum, aku menemukan duniaku kembali. Zey akan membuat dunia ini terasa lebih luas untukku. Seketika itu pula mereka datang lagi, datang dengan diam dan menghujamkan diri pada bumi dan menyentuh kelopak-kelopak bungaku, aku dan zey mendongak ke arah langit, penguasa siang masih memancarkan sinarnya.

Hari Pendidikan Nasional untuk Hari Esok

Hari Pendidikan Nasional untuk Hari Esok

              Sebagai bentuk apresiasi dan cenderung menyadur apa yang “Mereka”  lakukan di hari ini, dengan segala suka cita saya ucapkan Selamat hari Pendidikan Nasional. Semoga hari ini tidak hanya diapresiasi dengan ucapan kata-kata kosong, dan kaki-kaki manusia yang berdiri dilapangan pada pagi hari tadi tidaklah sia-sia. Ya, memang hal tersebut sebagai nilai rasa yang tinggi dalam memperingati hari pendidikan nasional. Mencitrakan orang-orang yang bersliweran dalam ruang lingkup pendidikan yang mengerti dan paham bagaimana cara menghargai Hardiknas. Tapi tentu saja hari ini bukanlah hari “Upacara”. Hari pendidikan nasional tidak hanya selesai dengan cara menghormati bendera dibawah terik matahari dan mengenang jasa pahlawan bak hari kemerdekaan. “Lantas bagaimana? Toh dari dulu sudah begitu”.
            Buka cakralawa anda selebar mungkin, jangan merasa nyaman ketika sebenarnya anda hanya berdiri diatas daun talas yang luasnya beberapa jengkal dan terombang-ambing hanya pada satu pusaran, sehingga dengan mudah melupakan banyak hal yang harus direvisi dan dibenahi secara global. Disini saya tidak pro ataupun kontra dengan pihak manapun. sebagai mahasiswi prodi pendidikan, saya menilai dari kacamata saya sendiri dan setidaknya saya tidak menutup mata dengan pendidikan yang akan menjadi bidang saya kelak. Ini hanya spekulasi dan argumen yang mungkin bersifat pribadi, tetapi saya pastikan dapat dipertanggungjawabkan dengan potret yang selama ini memang benar terjadi.
            Diperuntukan untuk siapa ketika saya menuding kata “Anda?”, hal itu bukanlah untuk perseorangan dan individual ataupun kelompok tertentu, saya juga tidak akan menambah telunjuk yang telah penuh sesak dimuka pemerintah. Cukup mereka saja yang mengacungkan telunjuk dan lagi-lagi menuding pemerintah sebagai satu-satunya pihak yang mutlak untuk disalahkan. Mau jadi apa? Ketika negara ini diliputi berbagai permasalahan, setiap manusia seolah berlomba dan  hanya mencari-cari siapa yang disalahkan dan siapa yang harus bertanggungjawab, bukan mencari titik terang berupa solusi. Mereka tidak pernah menyadari bahwa dengan begitu hanya akan menambah persoalan yang akan semakin mengekor, walaupun sejatinya pihak yang bersalah selalu berlaku dan menjadi sorotan utama dimata hukum.
           Tetapi dalam dunia pendidikan, yang terpenting bukanlah persoalan siapa yang salah dalam bobroknya pendidikan di negara ini, Tentu saja pendidikan menjadi hal yang kompleks ketika diperbincangkan. Mengapa bisa demikian? pendidikan akan semakin kompleks ketika problematika semakin merajalela disetiap sudut komponennya. Apa itu pendidikan? Dalam definisi telah berkoar-koar bahwa pendidikan adalah usaha untuk memanusiakan manusia. Tetapi yang sebenarnya ada dibenak masyarakat diluar kasta yang mereka miliki, pendidikan adalah “Sesuatu yang mahal”. Pendidikanpun berubah menjadi hal mewah yang hanya berlaku bagi  orang-orang yang mengantongi sekian banyak Soekarno disakunya. dan yang hanya menggenggam pattimura bahkan logam menjadi awam dengan kata pendidikan dan seolah haram hukumnya walaupun hanya membayangkan bagaimana rasanya mendapat pendidikan. jika sudah begitu, kelak pendidikan hanya dianggap menjadi kebutuhan tersier!
                 Sengkarut sistem kurikulum yang seharusnya menjadi patokan dalam berjalannya sistem pembelajaran di sekolah justru selalu dibolak-balik seperti tempe goreng. Berharap agar lebih matang tetapi gosong yang didapat!  Belum lagi permasalahan pemerataan pendidikan. Nun jauh dibagian timur sana seolah menjadi kawasan yang sulit untuk dijamah, padahal tidak demikian. mereka hanya selalu terkucilkan! bukan hanya masalah pembangunan, tetapi pemerolehan pendidikan dan intelelektual yang seolah hanya diberi jatah secuil saja. Hingga akhirnya bagian timur selalu berdiri paling belakang terutama dalam hal pendidikan, bukan sesuatu yang aneh jika kawasan di Indonesia sulit untuk disamaratakan pada pembagian pengetahuan melalui jalur pendidikan karena berbagai faktor lain, seperti ketersediaan pahlawan tanpa jasa yang jarang sekali sudi ditempatkan dititik-titik terpencil seperti dibagian timur karena berbagai alasan. Padahal tidak sedikit yang telah mengabaikan tugas mulia yang dipikulnya, Lagi-lagi kesejahteraan yang selalu dituntut hingga nadi mengurat, lantas bagaimana kesejahteraan anak-anak didik mereka? Bukan hanya tugas pemerintah, tetapi gurulah yang memainkan peran paling penting, ideologi mereka dituntut untuk menghasilkan anak-anak pengganti bangsa yang mampu membangun negeri ini menjadi lebih baik. Sekolah adalah lembaga dan tempat untuk melahirkan mereka, tidak sedikit orang-orang besar yang lahir karena proses di sekolahnya. Jangan jadikan sekolah hanya sebagai mesin pencetak ijazah dengan nama-nama yang kelak akan menambah panjang daftar pengangguran! Masih banyak lagi bukan? Memang tidak akan ada habisnya jika berbicara problematika pendidikan. lantas apa yang salah dengan pendidikan di Indonesia? Mari kita bandingkan dengan negara yang memiliki pendidikan terbaik di dunia. Bukan Amerika, Inggris, Australia, Jerman, Jepang ataupun negara besar dan maju lainnya. tetapi negara tersebut adalah Finlandia, mungkin cukup terdengar asing karena negara tersebut tidak memiliki andil yang besar dalam dunia seperti negara yang telah saya sebutkan tadi. Tetapi itulah kenyataannya. Finlandia bukan negara besar, tetapi menjadi negara dengan pendidikan terbaik didunia. Bagaimana dengan negara kita? Bukankah negara kita negara yang besar?
                   Jangan buat semakin bobrok pondasi pendidikan di negeri ini. untuk apa adanya tripusat pendidikan yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara. Tripusat pendidikan bukan hanya pepatah ataupun kata-kata semata. Tetapi beliau secara tidak langsung telah mengisyaratkan harus adanya keterkaitan antara bidang formal(sekolah), informal(keluarga) dan nonformal(masyarakat) dalam membangun pendidikan. jadi siapapun anda, pasti berperan penting dalam hal pendidikan karena merupakan anggota dari tripusat tersebut.
                   Masih banyak lagi persoalan yang tidak akan selesai jika semua orang hanya bisa menuntut dan menuding. Kapan kita sadar bahwa kita berdiri dengan tugas masing-masing. dan apabila tugas tersebut dilakukan sejalan dengan kode etik dan tidak menyalahi aturan, saya yakin pendidikan akan mengalami peningkatan yang signifikan. Jangan meminta contoh konkret, tetapi buatlah contoh konkret itu dalam realita hidup anda sendiri. Sekali lagi siapapun anda, Jangan menjadi manusia yang tidak memiliki perbedaan dari seekor kambing! Bukan kekuasaan, kekayaan, atau bahkan kecerdasan yang menjadi takaran. Bahkan William James Sidis, manusia terpintar didunia sepanjang masa. beliau tidak banyak dikenang oleh banyak orang, jangankan untuk dikenang. Hanya segelintir orang yang mengetahui bahwa ia adalah manusia terpintar didunia. Karena apa? Setelah meninggal beliau hanya meninggalkan seonggok nama. Tanpa karya dan kreativitas, dan tanpa hal yang berguna bagi manusia lainnya.
                  Sebenarnya pendidikanpun sama, pendidikan merupakan nama dan wadah yang besar untuk pengembangan manusia untuk menjadi lebih baik bermodalkan pengetahuan dan pengalaman, tetapi ketika pendidikan hanya dijadikan tempat untuk formalitas dan tanpa adanya upaya untuk membuat orang-orang didalamnya berguna, maka pendidikan hanya akan menjadi deretan kata tanpa arti yang selalu diperingati dengan cara berupacara bendera pada tanggal 2 mei. Dan akan selalu begitu seterusnya.