Dunia,
bagi sebagian orang mungkin yang akan terlintas di benak mereka adalah suatu
tempat yang luas, penuh warna di setiap jengkal penyusunnya, tragedi kehidupan
fatamorgana, tiupan mukjizat, bahkan malapetaka berkolaborasi menjadi
partikel-partikel yang sulit untuk dijabarkan. Dunia, bola besar yang berputar
tapi tak bisa menggelinding. Apakah itu sempurna? Tidak. Dunia, berisikan
planet-planet yang bertetangga namun hanya satu yang di huni. Apakah itu adil?
Jelas tidak. Intinya dunia ini luas, lebih jelasnya lagi bumi ini tidak sempit.
Benarkah demikian? Aku pikir tidak, tapi mungkin juga iya. Ah entahlah...
imajinasi ini membuatku seperti anak kecil, mengaduk-ngaduk isi kepalaku
seolah-olah komponen didalamnya berteriak-teriak membuat pening. Bagiku ini
berisik, sempurna menciptakan rasa sakit yang berdenyut-denyut. Jika sudah
begini, hanya obat sakit kepala yang dapat menjadi dewi fortuna. Ah, aku bahkan
benci obat sakit kepala.
Aku mengarahkan pandanganku pada
titik-titik air yang menginjakkan kakinya di pelataran bumi. Mereka tidak
membuat basah apalagi menggenangkan diri hingga berkubang. bulir-bulir air itu
hanya turun sedikit demi sedikit, menjatuhkan diri secara perlahan tanpa
bernyanyi, tanpa menimbulkan suara gemericik yang membuat manusia mendesah
kesal ditengah aktivitasnya, mereka datang dengan diam. Mengarahkan pandangan
vertikal kebawah dan ingin segera meluncur terhempas tanpa ada yang mengetahui,
tanpa perlu menelanjangi diri saat muncul bersamaan dengan penguasa siang. Mereka
tahu, tak seharusnya mereka datang. Hatiku bergeming, mataku memincingkan diri ketika
mendongak pada atap bumi, yang kulihat adalah langit berwarna biru dan matahari
yang sedang menjalankan tugasnya dengan baik. Sungguh hari yang cerah, lalu
mengapa mereka menjatuhkan diri?
“Ayah, mengapa mereka datang? Bukankah
itu sama saja mereka telah ikut campur dan merusak tugas matahari?” Aku menatap
ayahku yang masih sibuk mengaduk-ngaduk pupuk di pelataran, di belakangnya
telah berjejer rapih berbagai macam bunga yang terlihat sangat terawat.
Baginya, bunga adalah lambang keindahan yang sebenarnya didunia ini. Cita-citanya
sedikit tidak lazim bagi yang belum mengenal sosoknya dengan baik, bahkan akan
terdengar sangat lucu jika mengingat usianya yang telah menyandang status
seorang ayah. Ia tidak ingin menjadi orang kaya, pejabat, ataupun sesuatu hal
yang berbau harta dan kekuasaan. Cita-cita ayahku ingin melihat seluruh bunga
yang ada di berbagai penjuru dunia. Saat mendengar hal tersebut untuk pertama
kalinya, aku terkekeh hingga perutku terasa sangat sakit. Tapi ayah hanya
tersenyum, melihat senyumnya yang teduh dan menyejukkan, Hatiku luluh dan
lisanku sontak terdiam. Saat itu, aku menyadari satu hal besar dalam diri
ayahku.
“Apa
yang jatuh Syanda?” Ayahku menatapku menyelidik, aku mengulurkan tangan kananku
dan menunjuk ke atas langit.
“Hujan? lalu mengapa? Mereka tak
pernah bermaksud merusak tugas matahari. Peristiwa alam yang telah membuatnya
terpaksa turun. Apakah kau tahu nda? matahari selalu berbaik hati pada seluruh penghuni
dunia ini”. Ucap ayahku sembari menuangkan pupuk dan air kedalam pot-pot
bunganya yang telah haus.
“Matahari selalu berbaik hati memberikan
kehidupan pada makhluk dibumi dengan ketulusan sinarnya, ia juga rela membagi
cahayanya pada bulan agar mampu terang di malam hari, sedangkan dirinya sendiri
membenamkan tubuhnya kesisi lain bumi. Bahkan, matahari tak pernah marah saat
bulan masih menampakkan diri di pagi hari. Dan seperti saat ini, pada hujan
yang seharusnya tidak datang saat ia masih memancarkan sinarnya. Berlakulah seperti
matahari nda” Ucap ayahku diakhiri dengan senyum yang menyejukkan itu lagi. Aku
tertegun.
Televisi
putih besar dan tipis itu kini telah berdesakan oleh berbagai macam aksara dan
angka. Audionya hanya bersumber dari seseorang berperawakan tinggi berkepala
pelontos yang suaranya terdengar menggema ditelingaku. Sesekali aku mengerutkan
dahi, mengangguk pelan, menyerap kata-kata dari beliau, menuliskan beberapa
angka, berusaha memahami setiap rumus yang dituliskan dengan simbol-simbol yang
menurutku sangat aneh, aku juga benci matematika. Entah mengapa banyak hal di
dunia ini yang aku benci. Tapi aku akan terus menjebloskan rumus-rumus itu
kedalam otakku tanpa ampun. Aku harus pulang tidak dengan tangan kosong. Bukan
karena sekolah itu mahal, tapi karena aku sadar ilmu harus aku beli dengan
lembaran uang yang aku ulurkan ditiap awal bulan. Dan aku percaya uang yang
telah aku keluarkan tidak akan hilang tanpa arti, tapi akan dibarter
menggunakan ilmu yang kujebloskan kedalam otakku hingga tersumpal berdesakan.
Mataku
menyapukan diri ke sekeliling ruangan ini. Lihatlah wajah-wajah itu, aku yakin
mereka tidak pernah sungguh-sungguh berada disini. Aku selalu membenci mereka,
orang-orang yang tak pernah bersyukur atas apa yang telah mereka genggam dengan
tangannya, tak pernah puas dengan sesuatu yang telah berdesakan digenggaman
kedua tangan mereka, mereka selalu berusaha menggenggam lebih banyak dari yang
mereka bisa, padahal manusia hanya dikarunia dua tangan oleh Tuhan, mereka lupa
pada orang-orang yang bahkan tidak bisa menggenggam apapun ditangannya, tak
pernah menjadi takaran untuk bersyukur. Aku membenci seluruh penghuni di kelas
ini. Teman? Itu kata paling buruk bagiku, peduli apa seorang teman saat aku
sedang dirangkul oleh keterpurukan, yang mereka bisa hanya berpura-pura
berempati dan membuat lekukan pada garis diwajah sehingga tercetak sempurna
membentuk wajah yang sedih. Lalu dengan begitu apakah mereka benar-benar sedih
dan peduli? Tentu saja tidak!
Terhitung satu minggu aku duduk di
kelas ini. masa-masa SMA memang telah terdoktrin dengan kesan yang indah.
Berteman dengan banyak orang, aktif organisasi, dikenal oleh guru, populer di
sekolah, dan menjalin kisah-kasih yang indah. Bah! Bagiku semua itu hanya
klise, dihari pertama aku masuk sekolahpun aku hanya melempar tatapan sinis
pada anak-anak yang tersenyum padaku, dari sorot mata mereka aku bisa membaca
beberapa kata seperti “hai, siapa namamu?” tapi yang aku lakukan hanyalah
menatap tajam dan membuang tatapan ke arah lain. “Jangan pernah bicara padaku”
Sungguh, aku tidak main-main.
***
“Ndaaa.. daa, ndaaaaa” Suara itu
terdengar lagi, walaupun hanya erangan tetapi suara itulah yang membuatku tetap
bertahan menjejakkan kaki di dunia ini, sesungguhnya aku tidak ingin lagi
menumpang hidup pada Tuhan, aku tahu setiap jengkal didunia ini adalah
milik-Nya. Tapi sekali lagi sungguh, jika bukan karena suara itu masih aku
dengar hingga saat ini, aku selalu ingin “pulang”. Matanya menatapku sendu, aku
tahu persis arti tatapan itu, “kau sudah
pulang nak?”. Aku terduduk tepat didepannya, bersimpuh mencoba bersikap
normal dan bertingkah laku seolah semua baik-baik saja. Kualihkan tatapanku
pada kedua kakinya yang tak lagi bisa menjejakkan diri pada bumi, sebagai
gantinya dua roda bertempat duduk yang dirancang sedemikian rupalah yang telah
mengambil alih fungsi dari kedua kaki yang kini terlihat semakin layu. Yang ia
bisa kini hanyalah menatap taman bunganya yang sudah tidak terawat lagi. wajahnya
selalu tenang, tapi menyimpan jutaan ekspresi yang tak pernah bisa
tersampaikan, syaraf-syarafnya sempurna terdiam dan membeku, seluruh tubuhnya
telah mati, hanya tersisakan erangan dan jiwa yang masih setia mendiami
raganya.
Kata orang penyakit ini dijuluki penyakit
kutukan dari Tuhan, dan penderitanya akan dianggap seseorang yang telah
melakukan kejahatan dan dosa didunia yang tak termaafkan. Oleh karena itu Tuhan
memberikan hadiah melalui penyakit ini sebelum menyiksanya di akhirat nanti, siksaan
di dunia dan akhirat tepatnya. Rasanya hina sekali orang-orang yang mengidap
penyakit ini. Tapi ayahku bukan orang seperti itu, tidak! Jika apa yang
orang-orang katakan selama itu benar, aku yakin ayahku adalah pengecualian
Tuhan.
“Iya ayah, aku sudah pulang. Ayah
sedang apa disini? Bukankah ini waktunya untuk beristirahat? Ah lihatlah matamu
terlihat merah dan lelah, apakah ayah sudah makan? Dimana zey? A..a...” Aku
tercekat, lupa jika aku terlalu banyak bertanya seolah ayahku dapat menjawab
semua pertanyaan itu. Seketika mulutku terhenti, diikuti oleh erangan yang ayah
ujarkan lagi. “Ndaaa..ndaaaa, daaaaaa” aku tahu ia ingin menjawab pertanyaanku,
tapi hanya erangan itu yang dapat mewakilinya. Hatiku terasa sangat perih.
Aku masih terngiang akan perkataan
ayah tiga tahun lalu, saat tangannya masih cekatan mengaduk-ngaduk campuran
pupuk yang baunya sungguh sangat menyengat, saat lisannya masih mengeluarkan
kata-kata yang membuatku merasa damai, saat senyumnya mampu merangkul hati
putrinya ini menjadi bersih dan bersinar seperti matahari. Hingga semuanya
berakhir ketika ayah bahkan tak bisa tersenyum lagi. Jangankan menjadi
matahari, aku justru menjadi membenci seluruh hal didunia ini, kecuali ayah.
Hanya dia pengecualianku. Aku seperti berdiri dengan satu kaki, bertumpu pada
satu tungkai yang telah rapuh, aku merasa semangatku terserap oleh pusat bumi,
hingga aku tak bisa melawan tekanan gravitasi, aku mengapung di dunia yang
besar ini. jiwaku tinggal separuh, sebagian nyawaku berada pada jiwa ayah yang
telah hilang.
“Ayah, dimana zey? Bukankah dia seharusnya
menjagamu disini? Ah awas saja jika dia pulang nanti” Aku mengulang lagi
pertanyaanku, sungguh geram aku pada bocah tersebut, sesungguhnya hanya dia
yang bisa aku andalkan menjaga ayah saat aku berada disekolah.
“Peduli
apa dia pada ayahnya yang dianugerahkan kutukan dari Tuhan-Nya sendiri? Jelas
saja dia malu” Suara itu terdengar dari ambang pintu. Wanita itu sudah pulang,
aku hanya bisa mendengus perlahan.
“Kau
bisu? Untuk apa aku gelontorkan kertas-kertas berharga itu jika kau hanya bisa
mendengus seperti binatang, hanya itu yang kau bisa dari sekolahmu?” ia
menatapku tajam dan berlalu pergi, sedangkan aku masih duduk bersimpuh dikaki
ayahku. Ingin rasanya aku membalas perkataan ibu, tapi tidak! Aku harus bertahan.
Aku hanya harus diam, jika aku berontak, aku tahu aku tidak akan bisa sekolah
jika tanpa uang darinya, aku merasa
muak. aku sangat membenci sekolah, tapi aku harus pergi ke sekolah, karena ayah
pernah mengatakan bahwa dunia akan takluk dan selalu terasa luas pada wanita
yang cerdas.
Aku
tidak tahan lagi, aku sudah terbiasa tidak mempedulikan kata-kata ibu. Bagiku
itu hanyalah nyanyian sumbang yang jika aku biarkan masuk akan merusak gendang
telingaku, dan merobek ulu hatiku lebih dalam, yang saat ini aku pikirkan
adalah zey, ia sungguh sangat tidak bisa diandalkan. Bagaimana bisa dia
menelantarkan separuh nyawaku ini? ayah tidak akan bisa melakukan apapun
sendirian dengan kondisinya yang sekarang. “Sebentar ayah, aku akan pergi
keluar dahulu” aku bergegas pergi meninggalkan ayah dan berusaha melangkah
secepat mungkin. Aku tahu dia berada dimana.
Dari
teras aku melihat kedua orangtua itu di muka rumah mereka. Ah, lihatlah..
pasangan yang sudah tidak muda lagi itu terlihat sangat bahagia. Selalu ada
senyum dibibir keduanya saat aku berkunjung. Tapi aku tahu, senyum itu adalah bukan
perwakilan dari maksud hati mereka yang sebenarnya.
“Nda,
ada apa kau kemari? Kau sudah makan nak?” ucap kakek tua itu dengan perangai
yang baik namun penuh kepalsuan bagiku. “Dimana zey? Mengapa kalian selalu
memaksanya untuk kesini?” bukankah aku sudah melarangnya?! Nada bicaraku
sedikit tinggi, aku sudah tidak mampu lagi membendung perasaan yang telah
memuncak. Hatiku mendidih dan meluap-luap.
“Tenanglah
nak, zey tadi kemari sendiri, bukan kami yang memaksanya. Dia terlihat lapar,
oleh karena itu kami memberinya sedikit makanan yang kami punya. Lalu ia
tertidur. Dia ada didalam, kami tidak menyembunyikannya” Nenek tua itu menjawab
dengan tenang, diikuti oleh anggukan suaminya yang sepaham dengan perkataan
istrinya tersebut.
“Lalu,
bisakah kalian berhenti mencampuri urusan keluargaku? berhentilah
menanti-nantikan kedatangan zey, berhentilah melongok ke arah rumah kami demi
mencari sosok zey, berhentilah berpikir jika semuanya bisa seperti dahulu saat
zey dan aku sering bertandang ke gubuk ini, berhentilah tersenyum padaku, berhentilah
berharap bahwa zey bisa menjadi anak kalian! Apakah itu sulit? Apakah karena
Tuhan tidak meniupkan kehidupan pada rahimmu lalu kau berharap mengambil adikku
nek? Berhentilah bersikap seolah keadaan ini sama seperti dahulu! Zey harus
menjaga ayahku!!!”
Aku
menerobos masuk dan memaksa zey untuk bangun dan menyeretnya keluar, kakek dan
nenek itu hanya terdiam. Zey meronta-ronta berusaha melepaskan tanganku. Aku
benci keadaan ini, aku benci kakek zul dan nenek ida, aku yakin mereka ingin
mengambil zey. Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi, aku tidak bisa
berlaku baik lagi pada kakek zul dan nenek ida seperti dahulu, aku harus
bertahan dengan keadaan ini walaupun aku sendiri membencinya. Demi ayahku,
apapun akan kuterjang, siapapun yang menghambatku akan kujatuhkan.
Zey
menangis hingga tersedu-sedu, tapi aku sama sekali tidak berusaha untuk
mengasihaninya. Raut wajahnya merah, matanya sembab, dia duduk di sudut ruangan
menekuk kaki dan memeluk lututnya sangat erat. Aku tidak berusaha untuk peduli,
tapi sikapku ini sangat beralasan, aku tidak ingin zey tumbuh menjadi lelaki
yang lemah dengan kondisi keluarganya yang sekarang, entah apakah penghuni
dirumah ini masih layak dikatakan sebuah keluarga, aku tidak mengenali kata itu
lagi semenjak kematian separuh jiwa ayahku. Zey tidak kuperbolehkan untuk
sekolah, jika zey sekolah dia akan duduk di bangku sekolah dasar, bagiku ayah
lebih penting. Zey harus menjaga ayah selagi aku sekolah. Ini bukan
diskriminasi, aku juga tidak ingin pergi ke sekolah, tapi dulu ayah selalu
menasihatiku agar rajin pergi ke sekolah. Tentu saja aku tidak ingin
mengecewakan ayah. Dan zey bisa belajar denganku dirumah.
Lagi, suara hentakan tombol-tombol itu
terdengar mengiris-ngiris benda didalam organ tubuhku, sudah sangat lama benda
itu bertahan. Meneteskan darah sedikit demi sedikit, tersayat dan terkoyak
berkali-kali hingga tidak ada lagi darah yang dapat menetes, hatiku telah
kering, tidak lagi berfungsi dan kebas oleh rasa sakit. Tapi malam ini, jiwaku
terpelintir oleh sosok yang sangat semu dalam rumah ini, kedua tangannya masih
terampil menghentakkan kata-kata dengan jarinya yang lihay didepan layar
bercahaya yang membuat keluarga ini terasa hambar. Apakah aku durhaka Tuhan?
Aku bahkan tidak pernah bisa memuliakan ibu, saat aku menatap wajahnya justru
selalu terbesit rasa sesak yang tidak terkira. Pekerjaan yang selalu
diagung-agungkan olehnya telah membuat ayahku hanya bisa terduduk tidak
berdaya, tanpa dapat bergerak, tanpa berjalan, bahkan tanpa senyuman. Wajahnya
tak lagi simetris, stroke. Penyakit kutukan itu tidak mengutuk ayah, tapi
justru mengutuk diriku menjadi seperti ini, menjadi membenci seluruh partikel
yang ada didunia yang sempit ini. Aku tidak pernah bisa mengerti bagaimana
paradigma ibu mengenai hidup, yang aku tahu hanyalah ibu bukan bekerja untuk
hidup seperti yang orang-orang lakukan, tapi hidupnya hanya untuk bekerja,
bukan materi dan kekayaan yang ibu cari, tapi karena sudah terlalu cinta atau
bahkan gila bekerja, ibu telah terperosok dan melawan arus terlalu jauh pada
takdirnya sebagai seorang wanita. Aku tidak pernah bisa mendefinisikan apa arti
kata ibu, tidak ada cerita tentangnya di otak kanan maupun di otak kiriku,
bahkan jika digeledah sekalipun.
Ini bukan salah ayah, tapi mengapa
harus ayah yang menanggung semuanya? Bahkan setelah ia mengalah pada ibu dan
rela harga dirinya sebagai seorang laki-laki dan kepala keluarga diinjak sangat
dalam oleh ibu dengan kegilaannya pada pekerjaannya itu. Sebagai seorang kepala
keluarga tentu saja ayah memiliki tanggung jawab yang sangat besar pada hal
urusan menafkahi kami, dan ibu bertanggung jawab untuk mengurus aku dan zey. Kurang
lebih seperti itulah garis takdir kehidupannya, tapi ibu berontak akan
takdirnya sebagai seorang wanita, ia bersikeras untuk bekerja disuatu
perusahaan besar dan menjadi seorang sekretaris yang tentu saja sangat menyita
waktunya. Awalnya ayah tidak melarang, ayah sadar betul akan hak emansipasi
wanita dan ayah juga bukan penganut diskriminasi. Tetapi karena kecintaannya
pada pekerjaan, ibu lupa waktu dan menjadi lupa diri. Bahkan ibu menjadi lupa
pada kami, pagi hingga sore hari ibu berada dikantor, petang hari ibu
melanjutkan pekerjaannya yang belum selesai di rumah dan kembali sibuk berkutat
dengan tombol-tombol dan layar yang bercahaya itu lagi hingga larut malam.
Seperti itu setiap harinya hingga aku dan zey terbengkalai, ibu berpikir dengan
adanya pembantu rumah tangga semuanya akan beres dan selesai, tetapi itulah
awal malapetaka bagi keluarga ini.
Saat
itu zey yang masih berusia empat tahun jatuh dari atas balkon setinggi tiga
meter ketika sedang bermain, tubuh zey tergeletak dengan darah bercucuran dari
kepala dan terlentang mengenaskan di teras rumah tanpa ada yang mengetahui,
selang beberapa jam kemudian ketika ayah pulang bekerja, zey baru ditemukan dan
segera dilarikan ke rumah sakit oleh ayah yang berlari pontang-panting
menggendong anak bungsunya itu.
Ayah berdiri terpaku, kakinya seolah
tertancap sangat dalam hingga ia tak bergerak, tatapannya kosong, tetapi
pikirannya sangat semrawut, tangannya refleks menggurat dinding disampingnya.
Ayah mencerna lagi kata-kata ilmiah yang dikatakan lelaki berjas putih itu, ia
sama sekali tidak mengerti. Yang ayah tahu hanyalah Zey mengalami gangguan pada
otaknya setelah kecelakaan tadi. Aku menggenggam tangan ayah, memahami arti
dari tatapan matanya yang kosong. Aku tahu ayah sangat terpukul, dan aku telah
berkali-kali menyalahkan diri karena pulang sekolah terlambat hingga Zey
terjatuh. Kini aku hanya bisa terdiam menemani diam yang ayah ciptakan, entah
apa yang sedang berkecamuk dalam benak ayah, tapi aku tahu ayah tidak akan
menyalahkan pembantu yang mungkin lalai atas insiden ini. Ayah selalu bijaksana
dalam bertindak dan bicara, lalu siapa yang patut disalahkan? Hatiku berdegup, lalu
mulutku berbicara seolah tanpa komando dariku “Ayah, dimana ibu?”, ayah
menatapku sejenak tanpa berkata apapun, yang ayah lakukan hanya menggenggam
erat genggaman tanganku dan tersenyum padaku, dan aku tahu arti senyuman ayahku
itu, senyuman ayahku selalu memiliki arti tersendiri, dan aku selalu bisa
membaca arti dari senyum itu. Bayangkan, disaat seperti ini ayah masih mampu
tersenyum walaupun aku tahu itu bukanlah arti dari definisi tersenyum yang
sebenarnya.
Setelah kejadian tersebut ayah memutuskan
untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya, hal tersebut sangat menampar jiwa
ayah karena ia harus merelakan dan menurunkan mahkota kepala keluarga yang
seharusnya mencari nafkah demi anak istrinya. Ayah mengizinkan ibu untuk tetap
bekerja, karena ayah tahu ibu tidak akan patuh pada perkataannya jika harus
berhenti bekerja, apalagi jika alasannya untuk menjaga dan mengurusi aku dan Zey.
Ayah tidaklah bahagia atas keputusannya tersebut yang telah membuat dunia
seolah menjadi terbalik, ibu bekerja dan ayah menjaga kami dirumah. Tentu saja
jiwa dan naluri ayah sebagai seorang laki-laki sangat berontak karena
keputusannya ini sangat berseberangan, tapi disisi lain ayah takut terjadi hal
yang lebih buruk lagi pada zey ataupun pada kami, ayah juga tidak ingin kami
tumbuh dengan rasa haus akan kasih sayang dan perhatian dari orangtuanya. Oleh
sebab itu ayah mengalah, dan melampiaskan seluruh perasaannya dengan mulai
menanam dan merawat taman bunga setiap harinya.
Aku dan Zey sangat bahagia karena ayah selalu
ada di rumah menjaga kami, Zey yang saat ini mengalami sedikit keterbelakangan
mental entah mengapa hanya mau bersikap baik pada ayah. Tetapi seiring
berjalannya waktu ayah dan aku mulai bisa menghadapi semua tingkah laku Zey
yang tidak seperti dulu, sedikit ada rasa sedih terbesit dipikiranku, sungguh malang
adikku yang lucu ini. Lambat laun rupanya Zey mulai terbiasa dengan kehadiranku
dan tetangga kami yang sering bertandang ke rumah, ataupun sebaliknya. Kakek
Zul dan nenek Ida sangat baik, mereka bahkan selalu menyempatkan diri bermain
dan membawa Zey kerumah mereka, ayah tidak keberatan akan hal tersebut, ayah
bilang kakek Zul dan nenek Ida tidak memiliki anak, aku mengangguk maklum atas
penjelasan ayahku. Dan setelah aku amati, ternyata selama ini Zey selalu merasa
takut apabila bertemu dengan orang yang jarang bersamanya, hingga akhirnya ia
selalu berontak dan berteriak-teriak. Itu terjadi ketika ibu pulang saat malam,
Zey tiba-tiba berteriak dan menangis ketika melihat ibu. Dari situ aku
menyadari, ibu hanyalah orang asing di rumah ini bagi Zey, juga bagiku.
Bertahun-tahun ayah menjadi sosok orangtua
yang sangat sempurna bagi aku dan zey, mungkin bagi orang lain ini akan
terdengar sederhana, tetapi inilah kenyataan besarnya, ayah telah merangkap tugas
seorang ayah dan juga ibu dengan sangat baik. Saat itu, dunia masih terasa
sangat luas bagiku, tetapi setelah jiwa ayah hilang separuh, dunia seketika
menyusut dan terasa sangat sempit.
“Ayah
ingin ke taman kak” aku menoleh pada suara yang jarang aku dengar itu, Zey
memang jarang berbicara, hanya seperlunya saja. Dia selalu menutup diri pada
semua orang, terkecuali ayah, dan semenjak ayah tidak lagi bisa bicara, Zey
semakin jarang berbicara, tetapi Zey seolah tahu dengan keinginan ayah yang
hanya ayah ucapkan dalam hati. Inikah ikatan batin? Entahlah.. dunia ini
terlalu sempit hingga tidak ada celah untukku memikirkan hal tersebut.
“Baiklah,
kakak bantu membawa ayah ke taman” aku mengiyakan dan mendorong kursi roda yang
ayah naiki ke pelataran rumah. Aku menatap taman yang selalu ayah rawat dengan
baik tiga tahun lalu itu dengan nanar, tidak ada yang merawat bunga-bunga ayah.
Hal yang selama ini ayah agung-agungkan telah kehilangan pesonanya. Jangankan
kelopak bunga yang merekah, yang kini terlihat hanyalah dahan-dahan kering yang
telah meranggas. Aku merasa bersalah membiarkan ini terjadi, tapi aku bisa apa?
Aku tidak cukup terampil untuk merawat taman ini, walaupun hanya sekedar
menumpahkan air pada bunga-bunga itu, aku merasa benci ketika melihat warna-warna
indah dari bunga-bunga yang mengembangkan mahkotanya. Sedangkan hidupku tidak
seindah bunga-bunga itu. Biarlah mereka mengering dan meranggas. Tetapi darahku
berdesir ketika melihat wajah ayah yang tentunya merasa sangat sedih, bukan hal
yang mustahil jika hanya taman bunga ini yang dapat membuat ayah bahagia. Lagi-lagi
aku mengutuk diriku sendiri.
“Zey,
bisakah kau menjaga ayah sebentar, kakak ingin pergi ke suatu tempat. Tunggulah
disini bersama ayah” mendengar perkataanku zey hanya mengangguk. Aku bergegas
melangkah keluar rumah, aku seperti baru saja dibangunkan dari mimpi yang
membuatku terjebak. Aku sadar sepenuhnya, mungkin hanya ini satu-satunya hal
yang bisa kulakukan untuk membuat ayah bahagia, walaupun aku tidak bisa
mengajaknya melihat seluruh jenis bunga yang ada didunia, tapi aku yakin aku
bisa membuat ayah tersenyum walaupun senyuman itu hanya tersimpan didalam
hatinya. Aku kembali ke rumah beberapa saat kemudian sembari membawa sesuatu,
tetapi tidak di sangka zey menghalauku untuk masuk dari gerbang rumah.“Kak
syanda jangan masuk!!” melihat tingkahnya aku merasa sangat geram dan
memarahinya, dari kejauhan aku bisa melihat ayah tengah duduk tertunduk di
taman seorang diri sama seperti posisi semula. “Ada apa? Mengapa pula aku tidak
boleh masuk? Mengapa ayah kau tinggalkan sendirian disana?!” nada suaraku
semakin tinggi. “Jangan ganggu ayah! Ayah sedang melihat bunga yang ada
didunia” Zey meracau tidak karuan, aku semakin merasa marah dan menerobos masuk
menemui ayah. Aku mengulurkan sesuatu yang tadi aku beli pada ayah. “Ayah, ini Syanda
bawakan bibit bunga dan pupuk, nanti Syanda bantu tanamkan di taman ini, pasti
ayah sedih karena taman ini sudah tidak terawat” aku mengguncang lengan ayah
sembari tersenyum, ah baru kali ini aku dapat tersenyum lagi.
Ayah
tertunduk dan tidak membalas perkataanku, aku merasa ini sangat tidak wajar.
Apakah ayah tertidur? Aku mengguncang-guncang lagi lengan dan bahu ayah. Tidak
ada respon, aku menyadari tangan ayah terasa sangat dingin. Aku mulai gemetar.
“A..a..ayah?” ayah sama sekali tidak
menjawabku. Ia sempurna terdiam. Diam yang membuat detak jantungku berhenti dan
kemudian berdegup sangat cepat, bagaimana bisa? Aku mengangkat wajah ayahku,
matanya terpejam rapat, rapat sekali seperti orang tidur, mataku seketika
terbelalak, aku melihat ayah tersenyum! Tiba-tiba saja tulang-tulangku seperti
dilolos satu persatu. Bibit bunga dan pupuk yang aku pegang jatuh berhamburan.
Aku menyadari separuh nyawaku telah pergi. Aku menangis dan berteriak
sejadi-jadinya, sementara zey hanya melihatku dibalik pintu pagar dengan diam.
Setelah
kepergian ayah, ibu semakin jarang di rumah, aku tidak tahu apakah ibu merasa
sedih atau tidak, aku tidak peduli. Tapi aku tahu ibu sama sekali tidak
menitikkan air mata untuk melepas kepergian ayah. Jangan tanyakan bagaimana
kelanjutan hidupku, jika mayat hidup itu memang ada, akulah mayat hidup itu.
Ragaku hidup tetapi jiwaku sepenuhnya telah mati. Aku merasa gila, hanya ayah
satu-satunya alasan bagiku untuk tetap menjejakkan kaki di bumi ini, aku ingin
ikut. Mengapa ayah tega meninggalkanku sendirian di dunia yang semakin terasa
sangat sempit ini? apakah aku harus mengakhiri hidupku? Itu tidaklah mungkin,
karena aku tahu jika hal itu aku lakukan aku akan dilempar ke neraka setelah
diakhirat nanti, sementara aku yakin ayah pasti telah berada di surga. Jika itu
terjadi aku tidak bisa bersama ayah walaupun didunia yang lain sekalipun. Aku
tidak ingin melakukan hal bodoh tersebut. Tetapi sampai kapan aku hidup? Sampai
kapan aku berada di dunia yang sempit ini? kali ini, tidak ada lagi sandaran
ataupun tumpuan agar aku bisa tetap berdiri, aku tersuruk dan terseok-seok
melewati kehidupan.
“Kak
syanda, kakak tidak sekolah?” Zey menghampiriku yang sedang menyiram air dan
memberi kehidupan pada bunga-bunga yang bermekaran. Aku tidak menjawabnya,
lagi-lagi dunia terasa terbalik. Setelah kepergian ayah, Zey justru semakin
sering berbicara, dan aku selalu diam seribu bahasa. Aku memang tidak berniat
lagi untuk pergi ke sekolah. Untuk apa? Aku memutuskan untuk menutup diri dari
semua orang, dan dari semua partikel didunia ini. biarkan aku sendiri hingga
ayah berbaik hati menjemputku suatu saat nanti.
“Kalau
begitu, apakah aku boleh pergi ke sekolah?” zey berkata dengan sangat
hati-hati, dia tahu betul kondisiku saat ini. “Apa alasanmu? Silahkan saja” aku
menjawab dengan datar, tatapanku selalu kosong. “Baiklah, tidak apa-apa kalau kakak
tidak pergi ke sekolah, dengan begitu kakak tidak akan menjadi seperti ibu, dan
biarkan aku bersekolah kak, agar aku kelak tidak seperti ayah” Mendengar
perkataan Zey aku menatapnya sangat lama, aku tidak mengerti maksud
perkataannya. “Iya kak, agar kelak saat kakak dewasa dan mempunyai keluarga,
kakak tidak akan seperti ibu yang selalu bekerja tanpa kenal waktu dan menelantarkan
anak-anak dan suaminya, dan aku ingin bersekolah setinggi mungkin agar aku
tidak seperti ayah yang hanya diam dirumah menjaga kita walaupun karena
terpaksa karena perilaku ibu, aku tidak ingin kakak dan aku mengikuti jejak
ayah dan ibu”
Aku
merasa ditampar sangat keras oleh perkataan zey, dia benar. Aku tidak menyangka
walaupun ia sedikit keterbelakangan mental tetapi selama ini ia mampu membaca
takdir lebih baik daripada aku. Walaupun aku tetap sekolah sekalipun, tentu
saja aku tidak akan mengikuti jejak ibu. Biarlah semua ini berlalu, aku tidak
lagi menyalahkan ibu terlebih lagi ayah. Aku tidak berhak membuat sekat dan
menghalangi zey untuk menggenggam dunia yang selalu terasa luas bagi orang yang
mempunyai harapan. Aku mengangguk pada adikku itu, kabut hitam dikedua mataku
telah tersapu oleh harapan yang zey hembuskan. Aku mengetahui lagi bagaimana
cara tersenyum, aku menemukan duniaku kembali. Zey akan membuat dunia ini
terasa lebih luas untukku. Seketika itu pula mereka datang lagi, datang dengan
diam dan menghujamkan diri pada bumi dan menyentuh kelopak-kelopak bungaku, aku
dan zey mendongak ke arah langit, penguasa siang masih memancarkan sinarnya.