Jumat, 25 Desember 2015

Cerpen "Langkah Kaki Pemburu Uang Receh" (Terinspirasi dari Sajak Orang Miskin Karya W.S Rendra)


            Apa istimewanya uang receh? bernominal kecil dan hanya membuat berat isi dompet. Belum lagi jika berserakan dan menggelinding tak mau berhenti. Duh, lebih baik singkirkan saja. Tapi hari itu saat aku berdiri dibawah terik, sebuah koin bergambar burung garuda menggelinding syahdu dengan suaranya yang khas, dan memarkirkan diri tepat didepan kakiku. Aku tertunduk, kemudian menyapu pandangan kesekitar orang-orang yang berbaris memeganggi gagang motornya. Milik siapa ini? dengan cepat aku injak koin garuda itu. Tidak ada yang memasang gerak-gerik kehilangan, ya.. aku selalu benar, uang receh memang tidak terlalu dicari dan dipermasalahkan.
            Aku tetap berdiri dan menunggu, bahkan mulai celingukan memutar leher, entah menunggu apa, aku hanya ingin mencari raut wajah yang merasa kehilangan, kebingungan, atau apa sajalah yang berkaitan dengan itu. Tapi nihil, aku lelah berdiri. Kuputuskan untuk memberikan koin itu pada pak Bonar, cepat sekali beliau datang. Seperti biasa dia sudah duduk bersedekap sembari menjulurkan wadah kaleng kosong pada barisan yang telah mendapatkan giliran.
            Aku masukkan koin garuda itu hingga menimbulkan suara “Pluk” yang membuat pak Bonar kaget. Rupanya, koin garuda itu menjadi koin pertamanya untuk hari ini.
            “Heh bocah, sedang apa kau ini? bersedekah?” Pak Bonar bersungut-sungut, memamerkan deretan giginya yang kuning tak pernah digerilya oleh pasta gigi. ia tidak rela jika koin pertamanya berasal dari tanganku. Aku hanya bisa terkekeh melihat wajahnya yang tentu saja tidak pernah pula terguyur air hingga menjadi semakin kusut.
            “Walah pak Bonar, jangan kau marahi bocah ingusan ini, tadi aku nemu, tetapi entah milik siapa” aku menjawab sembari menggaruk rambutku yang gatal.
            “Lalu kenapa tidak kau kantongi saja? Sudah merasa kaya atau bagaimana kau ini hah? Aku seperti lebih rendah darimu saat tanganku berada dibawah tanganmu seperti tadi”
            “Bukan seperti itu pak Bonar, aku merasa itu bukan punyaku, wong aku Cuma nemu kok, takut ngga berkah. Yawis nggo pak Bonar bae” aku melambaikan tangan dan berlalu ke pengisian sebelah tanpa menanti jawaban pak Bonar, bagiku Tuhan telah mengatur rezeki hari ini. dan koin garuda tadi bukan rezekiku.
            Aku mulai menghampiri barisan orang-orang yang memegangi gagang motor lagi, berdiri menunggu giliran. Kali ini ada beberapa mobil yang ikut mengantri dibarisan yang berbeda. Seperti biasa, pagi selalu diwarnai dengan kesibukan kota. Aku juga ingin sibuk seperti mereka. Baiklah, aku mulai mengalungkan benda itu keleherku, dan menabuhkan dua kayu yang diujungnya telah kuikat dengan kain, menabuh-nabuh pada dua paralon yang kedua ujungnyapun kurekatkan karet yang lebar. Ini bukan alat musik, tapi tak apalah kujadikan sebagai pengiring sibuknya pagi ini. aku siap berburu uang receh.

***
            Lihatlah, adik kecilku itu sedang menanti kedatanganku, duduk memangku kaki dibalai-balai reot. Tapi ada yang aneh, adikku itu makan sembari menangis. Ada apa gerangan? Sontak aku menghampirinya. “Ada apa? Kenapa menangis?” aku mengusap cucuran air mata  yang menetes, adikku tak menjawab. Tetap makan dari piring seng berkarat dan ya, tetap sembari menangis. “Aku tidak mau makan dengan nasi basi kak, tapi perutku sangat lapar. Awalnya tadi aku tidak ingin memakan nasi ini, tapi setelah merasa lapar yang tak terkira aku makan juga nasi ini kak” ucap adikku sembari tersedu-sedu.
            Oh begitu rupanya, aku terenyuh. Lidahku kelu, bingung hendak berbuat apa. Melarangnya melanjutkan makan nasi basi itu atau membiarkannya. Hatiku berontak, tapi lisanku tak dapat mewakilkan dengan kata-kata. Kuputuskan untuk masuk kedalam rumah, mencari sosok ibu. “Berapa banyak nak?” ibu berucap tanpa menoleh kearahku. “Tidak banyak bu, hanya beberapa” ucapku sekenanya.
            “Yasudah, malam ini kita makan nasi basi lagi. Kau sudah lihat adikmu itu kan? Dia meraung-raung sejak pagi, lantas ibu harus bagaimana? Berdiripun tak dapat, ayahmu tak kunjung balik sejak petang kemarin. Entah mencari uang dimana lelaki itu” Ibu menahan nafas dikata terakhirnya, aku hanya bisa menatap sosoknya yang mungkin telah lelah berbaring. Menghabiskan hari berpagut dengan kasur lapuk. Dan aku tahu ibu pasti sedang menahan laparnya lagi. entah untuk yang keberapa kalinya, aku tidak bisa merangkai kata-kata untuk mencurahkan segala rasa sesak yang ingin menyembul keluar dari dadaku. Mungkin juga sudah busuk karena tak mampu kutumpahkan.
             Aku berlalu pergi meninggalkan ibu, dan adik kecilku yang masih menangis di depan rumah. Senja ini, kuputuskan untuk kembali ke tempat berburu koin lagi. Berharap dapat memperbaiki “Kualitas nasi” yang ibu dan adik makan untuk malam ini.
         Matahari mulai tergelincir, semua bergegas pulang, terkecuali aku yang justru bergegas melawan arus. Pak Bonar sudah meringkuk dipojok selokan. Ah Tuhan.. jadikan aku anak yang pandai bersyukur. Paling tidak masih ada atap yang sudi dijadikan tempat untukku dan keluargaku bernaung. Tapi tak ada yang membedakan, kamilah penyandang status itu, dibalik ratusan profesi dan nama julukan didunia ini. kami hanya layak mendapatkan status “Orang-orang miskin”. Yang berharap banyak dari uang receh yang bagi sebagian besar orang diabaikan, tapi bagiku atau bahkan bagi kami orang-orang miskin, satu uang receh bernilai satu langkah pengharapan untuk kami agar tetap memiliki impian untuk hidup. Biarkan kami mengais-ngais bak sampah, gelandangan? Biarkan kami dijuluki demikian, tak perlulah bagi kami mengemis dan berteriak akan keadilan. Yang entah darimana datangnya, dan yang tak tahu harus berasal dari uluran tangan siapa. Biarkan uang receh menjadi pengharapanku. Impianku hanya satu, membuat kualitas makanan untuk ibu dan adikku, menjadi lebih baik. tanpa ada campuran ketidakjujuran dan menunggu berkah serta rezeki dari Tuhan.


Vemy Rida Riawan, 24 Maret 2015






Tidak ada komentar:

Posting Komentar