BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah
Hal
yang paling dasar yang dapat dilakukan oleh siapapun untuk membedah makna suatu
karya sastra adalah dengan cara “menganalisis unsur-unsur pembangunnya” lebih
lanjut daripada itu dapat dilakukan kajian-kajian terhadap karya sastra dari
berbagai sudut pandangan. Pengkajian terhadap karya fiksi berarti menelaah,
penyelidikan, atau mengkaji, menelaah, menyelidiki karya fiksi tersebut. Untuk
melakukan pengkajian terhadap unsur-unsur pembentuk karya sastra, khususnya
fiksi, pada umumnya kegiatan itu disertai oleh kerja analisis. Istilah
analisis, misalnya analisis karya fiksi, menyaran pada pengertian pengertian
mengurai karya itu atas unsur-unsur pembentuknya tersebut, yaitu yang berupa
unsur-unsur intrinsiknya. (Burhan Nurgiyantoro, 2010:30)
Karya
sastra dibangun oleh unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik (intrinsic)
adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur ekstrinsik (extrinsic)
adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak
langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. (Burhan
Nurgiyantoro, 2010:23)
Berdasarkan
uraian tersebut penulis tertarik mengangkat hal paling dasar untuk membedah
makna sebuah karya sastra yaitu dengan “menganalisis unsur-unsur pembangun
karya sastra” yang dalam hal ini dikhususkan pada pendekatan struktural pada
cerpen yang terdapat pada bagian kumpulan Cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A.
Navis.
1.2 Rumusan
Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan cerpen?
b. Apa yang dimaksud dengan
pendekatan struktural?
c. Apa saja bagian-bagian dari
pendekatan struktural?
d. Bagaimana menganalisis cerpen
menggunakan pendekatan struktural?
1.3 Tujuan
Penulisan
a. Untuk mengetahui pengertian
cerpen
b. Untuk mengetahui pengertian
pendekatan struktural.
c. Untuk mengetahui bagian-bagian
dari pendekatan struktural.
d. Untuk mengetahui cara
menganalisis cerpen menggunakan pendekatan struktural.
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1
Pengertian Cerpen
Definisi Cerpen Menurut Beberapa
Pakar :
1.Joko
Sumardjo
Cerpen
adalah cerita yang pendek. Pendek berarti cerita yanghabis dibaca sekitar 10
menit, atau sekitar setengah jam. Cerita yang dapat dibacasekali duduk. Atau
cerita yang terdiri dari 500 hingga 5000 kata. Bahkan ada pulacerpen yang
berisikan beberapa puluh dan ribuan kata, itulah yang dikatakan cerpenyang
panjang. Pada umumnya cerpen-cerpen Indonesia bersikan 5-4 lembar foliodengan
maksimal 20 lembar folio yang menggunakan spasi rangkap
2. Burhan
Nurgiyantoro
Cerpen
adalah cerita sebagai sebuah narasi berbagaikejadian yang sengaja di susun
berdasarkan urutan waktu.
3. Aminuddin
Cerpen
adalah kisahan cerita yang diemban oleh pelaku-pelakutertentu dengan pemeranan,
latar, serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yangbertolak dari hasil
imajinasi penceritanya sehingga menjalin suatu cerita.
4. Tarigan
Cerpen
adalah cerita rekaan yang masalahnya jelas, singkat, padat danterkonsentrasi
pada satu cerita. Jadi, sangatlah jelas bahwa kelebihan cerpen yaitukemampuannya
dalam mengemukakan secara lebih banyak dan implisit darisekedar apa yang
diceritakan dan mengandung kesan tunggal.
5. Susanto
Cerita
pendek adalah cerita yang panjangnya sekitar 5000 kata ataukira-kira 17 halaman
kuarto spasi rangkap yang terpusat dan lengkap pada dirinyasendiri.
2.2
Pengertian Pendekatan Struktural
Pendekatan
struktural merupakan pendekatan intrinsik, yakni membicarakan karya tersebut
pada unsur-unsur yang membangun karya sastra dari dalam. Pendekatan tersebut
meneliti karya sastra sebagai karya yang otonom dan terlepas dari latar
belakang sosial, sejarah, biografi pengarang dan segala hal yang ada di luar
karya sastra (Satoto, 1993: 32).
Pendekatan struktural mencoba
menguraikan keterkaitan dan fungsi masing-masing unsur karya sastra sebagai
kesatuan struktural yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw,
1984: 135).
Jadi
dapat diambil kesimpulan bahwa pendekatan struktural adalah suatu pendekatan
dalam ilmu sastra yang cara kerjanya menganalisis unsur-unsur struktur yang
membangun karya sastra dari dalam, serta mencari relevansi atau keterkaiatan
unsur-unsur tersebut dalam rangka mencapai kebulatan makna.
Mengenai
struktur, Wellek dan Warren (1992: 56) memberi batasan bahwa struktur
pengertiannya dimasukkan kedalam isi dan bentuk, sejauh keduanya dimaksudkan
untuk mencapai tujuan estetik. Jadi struktur karya sastra (fiksi) itu terdiri
dari bentuk dan isi. Bentuk adalah
cara pengarang menulis, sedangkan isi adalah gagasan yang diekspresiakan
pengarang dalam tulisannya (Zeltom, 1984: 99).
2.3
Bagian-bagian Pendekatan Struktural
2.3.1 Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik adalah
Komponen atau bagian yang keberadaannya berfungsi untuk membentuk atau
membangun sebuah karya sastra (Novel, Cerpen, Hikayat, Film dan lain
sebagainya) yang berasal dari dalam karya sastra tersebut. Unsur intrinsik
digunakan untuk menganalisis suata karya sasrta, sehingga dapat memudahkan
pengamat untuk mengetahui dan memahami kandungan yang ada dalam sebuah karya
sastra tersebut. (Aminudin, 1995:80).
Macam-macam
Unsur Intrinsik :
2.3.1.1 Tema
Tema
adalah pandangan hidup yang tertentu atau perasaan tertentu mengenai kehidupan
atau rangkaian nilai-nilai tertentu yang membentuk atau membangun dasar/gagasan
utama dari suatu karya sastra. (Tarigan, 1993:125)
Tema
adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperan juga sebagai pangkal
tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptanya. (Aminudin,
1995:91)
Tema
adalah dasar atau makna sebuah cerita, tema adalah pandangan hidup tertentu
atau perasaan tertentu yang membentuk atau membangun dasar gagasan utama suatu
karya sastra, dan semua fiksi harus mempunyai dasar atau tema yang merupakan
sasaran tujuan. (Rusyana, 1988:67)
Berdasarkan
uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian tema adalah gagasan
pokok yang mendasari cerita dan memiliki kedudukan yang dominan sehingga dapat
mempersatukan unsur secara bersama-sama membangun sebuah karya sastra.
2.3.1.2. Tokoh dan
Penokohan
Dalam
pembicaraan sebuah fiksi ada istilah tokoh, penokohan, dan perwatakan.
Kehadiran tokoh dalam cerita fiksi merupakan unsur yang sangat penting bahkan
menentukan. Hal ini karena tidak mungkin ada cerita tanpa kehadiran tokoh yang
diceritakan dan tanpa adanya gerak tokoh yang akhirnya menbentuk alur cerita.
Rangkaian alur cerita merupakan hubungan yang logis yang terkait oleh waktu.
Pendefinisian
istilah tokoh, penokohan dan perwatakan banyak diberikan oleh para ahli,
berikut ini beberapa definisi tersebut:
a. Tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita (Nurgiyantoro,
2000: 165)
b. Penokohan adalah bagaimana pengarang
menampilkana tokoh-tokoh dalam ceritanya dan bagaimana tokoh-tokoh tersebut,
ini berarti ada dua hal penting, yang pertama berhubungan dengan teknik
penyampaian sedangkan yang kedua berhubungan dengan watak atau kepribadian
tokot-tokoh tersebut (Suroto, 1989: 92-93).
c. Watak, perwatakan, dan karakter menunjuk pada sifat dan sikap
para tokoh seperti ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas
peribadi seorang tokoh (Nurgiyantoro, 2000: 165).
d. Penokohan atau karakter atau disebut juga perwatakan merupakan
cara penggambaran tentang tokoh melalui perilaku dan pencitraan. Panuti
Sudjiman mencerikan definisi penokohan adalah penyajian watak tokoh dan
penciptaan citra tokoh (1992: 23).
e. Menurut Hasim dalam (Fanani, 1997: 5) bahwa penokohan adalah
cara pengarang untuk menampilkan watak para tokoh di dalam sebuah cerita karena
tanpa adanya tokoh, sebuah cerita tidak akan terbentuk.
2.3.1.3.
Latar (setting)
Kehadiran
latar dalam sebuah cerita fiksi sangat penting. Karya fiksi sebagai sebuah
dunia dalam kemungkinan adalah dunia yang dilengkapi dengan tokoh penghuni dan
segala permasalahannya. Kehadiran tokoh ini mutlak memerlukan ruang dan waktu.
Latar
atau setting adalah sesuatu yang menggambarkan situasi atau keadaan dalam
penceriteraan. latar adalah segala keterangan, petunjut, pengacuan yang
berkaiatan dengan waktu, ruang dan suasana (Sudjiman, 1992: 46).
Latar
bukan bukan hanya menunjuk tempat, atau waktu tertentu, tetapi juga hal-hal
yang hakiki dari suatu wilayah, sampai pada pemikiran rakyatnya, kegiatannya
dan lain sebagianya. (Sumardjo, dkk. 1997: 76)
Latar
atau setting tidak hanya menyaran pada tempat, hubungan waktu maupun juga
menyaran pada lingkungan sosial yang berwujud tatacara, adat istiadat dan
nilai-nilai yang berlaku di tempat yang bersangkutan.
a. Latar tempat
Latar
tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah
karya fiksi. Latar tempat berupa tempat-tempat yang dapat dijumpai dalam dunia
nyata ataupun tempat-tempat tertentu yang tidak disebut dengan jelas tetapi
pembaca harus memperkirakan sendiri. Latar tempat tanpa nama biasanya hanya
berupa penyebutan jenis dan sifat umum tempat-tempat tertentu misalnya desa,
sungai, jalan dan sebagainya. Dalam karya fiksi latar tempat bisa meliputi
berbagai lokasi.
b. Latar waktu
Latar
waktu menyaran pada kapan terjadinyaperistiwa-peristiwa yang diceritakan dalam
sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu
faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan sejarah.
Pengetahuan dan persepsi pembaca terhadap sejarah itu sangat diperlukan agar
pembaca dapat masuk dalam suasana cerita.
c. Latar sosial
Latar
sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial
masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalan karya fiksi. Perilaku itu
dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, pandangan hidup, pola
pikir dan bersikap. Penandaan latar sosial dapat dilihat dari penggunaan bahasa
daerah dan penamaan terhadap diri tokoh.
2.3.1.4. Sudut Pandang
Sudut pandang merupakan posisi pengarang terhadap peristiwa-peristiwa dalam
cerita sudut pandang (point of view) menyaran pada sebuah cerita yang
dikisahkan. (Abrams,
1981;142 .dalam Nurgiyantoro, 2005; 248). Dalam cerita rekaan sudut
pandang dianggap sebagai salah satu unsur fiksi yang penting dan menentukan.
Sudut pandang merupakan teknik
yang dipergunakan pengarang untuk menemukan dan menyampaikan makna karya
artistiknya. Untuk dapat sampai dan berhubungan dengan pembaca. (Boot, dalam
Stevick, 1967:89).
2.3.1.5 Alur/Plot
Alur adalah rangkaian cerita yang
oleh tahapan-tahapan peristiwa, sehingga terjadi sesuatu yang dihadirkan oleh
tokoh dalam suatu cerita (Aminnudin, 1987: 83)
Alur adalah suatu gerak yang
terdapat dalam fiksi atau drama (Tarigan, 1985: 126)
alur bukan sekedar
urutan cerita dari A sampai Z, melainkan merupakan hubungan sebab-akibat
peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain di dalam cerita. (Rusyana,
1987:67)
Alur
atau plot pada umumnya tunggal, hanya terdiri satu urutan peristiwa yang
diikuti sampai cerita berakhir (bukan selesai) sebab banyak cerpen yang tidak
berisi penyelesaian yang jelas, penyelesaian yang diserahkan pada interpretasi
pembaca. Urutan peristiwa dapat dimulai di mana saja, misalnya dari konflik
yang telah meningkat tidak harus bermula dari tahap perkenalan tokoh atau latar
biasanya tak berkepanjangan. Berhubungan berplot tunggal konflik yang dibangun
dan klimaks akan diperoleh pun biasanya bersifat tunggal pula. (Nurgiantoro,
2000:12)
Dari penjelasan para ahli di atas,
dapat kita simpulkan bahwa alur memiliki bentuk tahapan-tahapan rangkaian
peristiwa sebagai berikut:
1.
Tahap pengenalan: pada tahap ini, alur menceritakan
pelaku/tokoh ataupun latar cerita.
2.
Tahap penampilan: pada tahap ini menceritakan
persoalan yang di hadapi pelaku cerita.
3.
Tahap konflik: pada tahap ini digambarkan terjadinya
perbedaan pendapat atau permasalahan antara tokoh protagonis dan antagonis.
4.
Klimaks: pada tahap ini, pokok permasalahan sudah
mencapai puncaknya.
5.
Tahap penyelesaian: pada tahap ini, permasalahan yang
terjadi sudah dapat diatasi.
2.3.1.6 Gaya Bahasa
Gaya atau khususnya
gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style. Kata style diturunkan dari kata Latin yaitu stilus, yaitu
semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Keahlian menggunakan alat ini
akan mempengaruhi jelas tidaknya tulisan pada lempengan tadi. Kelak pada waktu
penekanan dititikberatkan pada keahlian untuk menulis indah, maka style lalu berubah menjadi kemampuan dan
keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata secara indah. (Keraf,
2006, 112-113)
2.3.1.7
Amanat
Amanat atau nilai moral merupakan
unsur isi dalam karya fiksi yang mengacu pada nilai-nilai, sikap, tingkah laku,
dan sopan santun pergaulan yang dihadirkan pengarang melalui tokoh-tokoh di
dalamnya (Kenny, 1966: 89 dalam Nurgiyantoro, 2009:321).
Amanat menurut adalah pesan-pesan yang ingin disampaikan pengarang melalui cerita, baik tersurat maupun tersirat. Berdasarkan pengertian tersebut amanat merupakan pesan yang dibawa pengarang untuk dihadirkan melalui keterjalinan peristiwa di dalam cerita agar dapat dijadikan pemikiran maupun bahan perenungan oleh pembaca Siswandarti (2009: 44)
Amanat menurut adalah pesan-pesan yang ingin disampaikan pengarang melalui cerita, baik tersurat maupun tersirat. Berdasarkan pengertian tersebut amanat merupakan pesan yang dibawa pengarang untuk dihadirkan melalui keterjalinan peristiwa di dalam cerita agar dapat dijadikan pemikiran maupun bahan perenungan oleh pembaca Siswandarti (2009: 44)
2.3.2. Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur
pembangun yang berada di luar teks sastra, tetapi secara tidak langsung
memengaruhi bangun atau sistem organisme teks sastra. Atau, secara lebih khusus
ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang memengaruhi bangun cerita sebuah
karya sastra, namun sendiri tidak ikut menjadi bagian didalamnya. Walaupun
demikian, unsur ekstrinsik cukup berpengaruh (untuk tidak dikatakan: cukup
menentukan) terhadap totalitas bangun cerita secara keseluruhan. Oleh karena
itu, unsur ekstrinsik sebuah novel haruslah tetap dipandang sebagai sesuatu
yang penting.
Unsur ekstrinsik dipahami sebagai unsur pembangun yang
berasal dari luar teks sastra. Memahami karya sastra berdasarkan unsur
ekstrinsik adalah memahami koneks dari karya sastra. Suatu karya sastra
memiliki keterkaitan dengan kehidupan. Karya sastra diungakap mengenai latar
belakang sosialnya, makna, amanat, sikap pengarang, dan nilai estetika
(Mahayana, 2005:280).
Macam / Jenis Unsur
Ekstrinsik
2.3.2.1
Biografi
Pengarang
Menyangkut asal daerah atau juga
suku bangsa, pekerjaan, agama , jenis kelamin, pendidikan, serta
ideologi pengarang. Unsur-unsur tersebut sedikit banyak namun berpengaruh diisi
novelnya. Sebagai contoh , novel yang dikarang orang Indonesia tersebut akan
berbeda dengan novel yang dibuat oleh orang inggris, atau juga orang arab.
2.3.2.2 Psikologi
Pengarang
Psikologi pengarang merupakan suatu ungkapan
keadaan jiwa yang mendasari seorang pengarang melukiskan suasana kejiwaan
pengarang pada karya sastra yang merupakan hasil dari kreativitasnya, baik
suasana sakit maupun emosi. Ataupun pengalaman pribadi pengarang atau bukan
pengalaman pribadi yang tentunya pernah disaksikan oleh pengarang.
2.3.2.3. Psikologi
Pembaca
Psikologi
pembaca merupakan suatu keadaan kejiwaan yang dimiliki oleh pembaca dalam
membaca suatu karya sastra, penafsiran dari individu dengan individu yang lain
akan berbeda ketika memahami suatu karya sastra, hal tersebut dipengaruhi oleh
keadaan jiwa pembaca yang berbeda-beda pula.
2.3.2.4 Lingkungan Budaya
Merupakan lingkungan adat ataupun kebiasaan yang dilakukan di sekitar
lingkungan kehidupan pengarang, adat dan kebiasaan ini juga biasanya adalah hal
yang sering dilakukan oleh masyarakat dan berkembang dari generasi ke generasi,
hal tersebut dapat memengaruhi pengarang dalam pembuatan karya sastra yang
ditulisnya, karena bisa saja adat istiadat tersebut dillukiskan dan diceritakan
pada karyanya.
2.3.2.5 Lingkungan Sosial
Lingkungan sosial merupakan lingkungan sekitar tempat tinggal pengarang,
lingkungan sosial disini berkaitan dengan masyarakat dan berbagai macam
pemikiran, adat, dan kebiasaan dari lingkungan sosial masyarakat tersebut,
sehingga dapat mempengaruhi ataupun dapat menjadi inspirasi bagi pengarang
dalam membuat suatu karya sastra.
2.3.2.6 Lingkungan
Politik
Lingkungan politik merupakan suatu keadaan pada lingkungan pengarang ketika
membuat suatu karya sastra, lingkungan politik yang sedang terjadi pada saat
pengarang menciptakan suatu karya sastra akan mempengaruhi pemikiran dari
pengarang tersebut dengan ideologi politik yang sedang terjadi pada masanya.
BAB
III
PEMBAHASAN
Analisis
Struktural Cerpen Anak Kebanggaan
3.1
Sinopsis Cerpen Anak Kebanggaan
Dikisahkan ada seseorang yang
bernama Ompi. Ia adalah seseorang yang kaya. Semenjak istrinya meninggal,
perhatiannya ditumpahkannya pada anak tunggalnya. Yang awal mula dinamai
Edward, kemudian berganti lagi menjadi Ismail. karena ada kabar yang tak
mengenakkan mengenai nama-nama itu yang membuat Ompi naik pitam, dan setelah
mengadakan kenduri maka nama anaknya itu berubah lagi menjadi Indra Budiman.
Ompi sangat menginginkan anaknya
yaitu Indra Budiman menjadi seorang dokter, bahkan ia sangat terobsesi sekali.
Kemudian Indra Budiman pergi ke Jakarta. Dan hal tersebut membuat Ompi menjadi
yakin bawa setahun demi setahun segala cita-citanya akan tercapai. Dan
benarlah, setiap semester Indra Budiman mengirim rapor sekolahnya dengan
angka-angka yang baik sekali. Hanya dalam tempo dua tahun, Indra Budiman
menamatkan pelajarannya di SMA seraya mengantungi ijazah yang berangka baik.
Semenjak itu Ompi kurang punya
kesabaran oleh kelambatan jalan hari. Tapi semua orang tahu bahkan tidak
menjadi rahasia lagi bahwa cita-cita Ompi hanyalah akan menjadi mimpi semata.
Tetapi Ompi tidak percaya dan memaki serta menuduh semua manusia yang dianggap
iri hati akan kemajuan yang akan dicapai anaknya. Dan ia mengirim uang lebih
banyak untuk Indra budiman tanpa berpikir akibatnya. Dan akhirnya orang jadi
kasihan pada Ompi, tak seorang pun lagi yang membicarakan Indra Budiman
padanya, justru sebaliknya kini semua orang seolah sepakat saja untuk
memuji-muji.
Ketika Ompi tahu bahwa ada yang
ingin menikah, ia merasa pula bahwa Indra Budiman sudah patut ditunangkan.
Karena adat pada saat itu pihak perempuanlah yang datang meminang, sudah tentu
harapan Ompi tinggal harapan saja. tapi Ompi tak mau mengerti dan sifatnya
angkuh dan mudah tersinggung. Bahkan ia benci bukan kepalang pada orang-orang
yang memiliki anak gadis cantik, dan bukan kepalang meradangnya ia jika tahu
orang-orang mengawinkan anak gadisnya tanpa memperdulikan Indra Budimannya
terlebih dahulu.
Tetapi Ompi justru mengabarkan hal
yang lain pada Indra Budiman, ia mengatakan
bahwa sudah banyak gadis cantik yang meminangnya, tapi ia tolak dengan alasan
Indra Budiman lebih baik mencari calon di Jakarta yang akan sepadan dengan
title yang akan didapatkannya kelak.
Celakanya, Indra Budian yang selama ini menyangka tak mungkin ia dimaui
oleh orang kampungnya, lantas menjadi sangat percaya, tak teringat olehnya
bahwa bohongnya kepada ayahnya selama ini sudah diketahui oleh orang
kampungnya. Sejak itu berubahlah letak panggung sandiwara. Jika dulu sang anak
yang berbohong, si ayah yang percaya, maka kini si ayah yang menipu, si anak
yang percaya. Lalu si anak mengharapkan kepada ayahnya supaya dikirimi
foto-foto gadis yang dicalonkan. Dan Ompi mengirimkan foto gadis yang kebetulan
ada padanya, tidak peduli apakah gadis itu sudah menikah atau belum, dan masih
hidup atau tidak.
Semenjak itu surat dari Indra
Budiman tidak pernah datang lagi, dan ia menjadi jatuh sakit. Ompi patah
semangat dan menderita, dalam hidupnya hanya satu hal yang dinantikannya yaitu
surat dari anaknya. Tapi pak pos tak kunjung datang, dan kemalangan bertambah
lagi ketika Ompi menjadi lumpuh dan hanya bisa berbaring dikasurnya. Dan ia
hanya bisa menanti pak pos dikasurnya dengan keadaan sakit-sakitan. Orang
dikampung tak berani memanggil dokter, karena kedatangan dokter hanya akan
memperdalam luka hatinya karena ingat anaknya yang akan menjadi dokter. Dan
suatu hari pak pos datang bukan membawa surat, tapi telegram. Ompi dengan mata
berkaca-kaca meminta tolong untuk dibacakan telegram itu pada seseorang, karena
ia tak bisa membaca. Tetapi sebelum dibacakan, Ompi telah meninggal dunia
sembari memeluk telegram dari anak kesayangannya.
3.2
Unsur Intrinsik
3.2.1
Tema : Harapan orang tua kepada
anaknya
3.2.2
Tokoh :
a. Ompi
b. Indra Budiman
c. Aku
d. Orang-orang kampung
3.2.3.
Penokohan :
A.
Ompi
a. Penyayang :
-
“Aku bangga anakku, baik jika engkau
jadi dokter, karena orang lebih banyak memerlukanmu, dengan begitu kau disegani
orang, oo perkara uang? Mengapa tiga ribu, lima ribu akan kukirim anakku,
mengapa tidak?” (Navis, 2010: 17)
-
“Tapi karena sayang sama anak, ia terima juga nama itu, asal ditambah dibelakangnya
dengan Indra Budiman”. (Navis, 2010: 16)
b.
Sombong :
“Ah, aku merasa lebih berduka cita lagi,
karena belum sanggup menghindarkan kemalangan ini. coba kalau Indra anakku
sudah jadi dokter, pasti si mati ini akan dapat tertolong” katanya bila ada
orang meninggal setelah menderita sakit”. (Navis, 2010: 16)
c.
Suka berbohong :
- “Tidak dikatakannya kemarahannya itu, malah
sebaliknya dikatakannya banyak sudah orang yang punya gadis cantik datang
meminang, tapi semua telah ditolak”. (Navis, 2010: 19)
- “Untuk membuktikan kebenaran suratnya, Ompi
mengirimkan foto gadis yang kebetulan ada padanya, tak peduli ia apa foto itu
gambar dari gadis yang sudah kawin atau sudah meninggal”. (Navis, 2010: 20)
d.
Suka bermimpi :
-
“Pada suat hari yang gilang gemilang, angan-angannya pasti menjadi kenyataan.
Dia yakin itu, bahwa indra Budimannya akan mendapat nama tambahan dokter di muka
namanya sekarang”.
e.
Mudah tersinggung :
-
“’Ke sekolah? Kenapa ke sekolah ia?’ Ompi merasa tersinggung” (Navis, 2010: 18)
B. Indra Budiman
a.
Suka berbohong :
“Tak
teringat olehnya, bahwa bohongnya kepada ayahnya selama ini sudah diketahui
oleh orang kampungnya”. (Navis, 2010: 20)
b.
Bejat
“Lupa
bahwa semua mata orang kampungnya yang tinggal di Jakarta selalu saja
mempercermin hidupnya yang bejat”. (Navis, 2010: 20)
C. Aku
a.
Baik hati :
-
“Semenjak hari itu, berganti-ganti orang menyediakan diriku agar selalu didekat
ompi”. (Navis, 2010: 23)
-
“Itulah sebabnya tak kusampaikan kepadanya bahwa hari perkawinanku sudah
berlangsung, karena kau takut berita itu akan menambah penderitaannya”. (Navis,
2010: 23)
D.
Orang-orang kampung Ompi
Orang-orang
kampung Ompi tidak diceritakan secara mendetail, hanya sesekali muncul untuk
mendukung jalannya cerita, oleh karena itu orang-orang kampung termasuk tokoh
tambahan.
3.2.4.
Alur : Menggunakan alur maju
3.2.5.
Sudut Pandang : Menggunakan
orang pertama pelaku sampingan.
Bukti
kutipan :
-
“Ompi terduduk di kursi, matanya cemerlang memandang tangganya diulurkannya
kepadaku meminta telegram itu, aku merasa ngeri memberikannya, tapi aku tak
bisa berbuat lain, telegram itu kusodorkan ketangannya, telegram itu
digenggamnya erat, lalu didekapnya didadanya. “datang juga apa yang kunantikan”
katanya”. (Navis, 2010: 25)
-
“Kulihat pak pos memasuki halaman rumah Ompi, tergesa-gesa aku menyongsong pak
pos itu ke ambang pintu” (Navis, 2010: 24)
3.2.6.
Latar
a.
Latar tempat :
-
Diteras rumah Ompi
“Kulihat
pak pos memasuki halaman rumah Ompi, tergesa-gesa aku menyongsong pak pos itu
ke ambang pintu” (Navis, 2010: 24)
-
Di kamar Ompi
“Dan
ia telentang di ranjangnya, enggan bergerak, sebuah kaca disuruhnya supaya
dipasang pada dinding yang dapat memberi pantulan ke ambang pintu depan”.
(Navis, 2010: 22)
b.
Latar waktu :
-
Siang hari
“Kulihat
pak pos memasuki halaman rumah ompi, hari waktu itu jam sebelas petang”
(Navis,
2010: 22)
c.
Latar Suasana :
-
Menyenangkan
“Ketika
Ompi membaca surat anaknya yang memberitakan kemajuannya itu, air mata Ompi
berlinang kegembiraan” (Navis, 2010: 22)
-
Menyedihkan
“Aku
sobek sampul yang kuning muda itu dengna tangan yang menggigil, sekilas saja
tahulah aku, bahwa saat yang paling kritis sudah sampai dipuncaknya. Indra Budiman
dikatakan sudah meninggal” (Navis, 2010: 24)
“Kehadiran
dokter itu menimbulkan risau hatinya karena ingat pada Indra budiman yang bakal
jadi dokter tapi tak kunjung mengirimi surat lagi”. (Navis, 2010: 22)
-
Mengenaskan
“Semenjak
itu segalanya jadi tak baik. ia jatuh sakit, bahkan sampai mengigau, dan
seleranya patah. Ompi bertambah menderita juga lahir dan batin”. (Navis, 2010:
21)
“Namun
kemalangan itu bertamabah lagi, yaitu ketika Ompi jatuh terduduk. Lama orang
baru tahu dan memapahnya keranjanganya dikamar. Ompi jadi lumpuh dan habislah
sejarah Ompi menanti di ambang pintu setiap sore”. (Navis, 2010: 22)
3.2.7.
Gaya Bahasa
Pada
cerpen anak kebanggaan, terdapat gaya bahasa yang digunakan. Yaitu :
a. Metafora
-
“Hatinya akan kecil bila dipanggil
lain” (Navis, 2010: 15)
-
“Ketika tersiar pula kabar bahwa ada seorang Ismail terhukum karena maling dan
membunuh. Ompi naik pitam” (Navis,
2010: 15)
-
“Sekarang kau dimongi orang-orang yang busuk
mulut, anakku” (Navis, 2010: 17)
-
“Dan oleh seleranya yang patah. Ompi
bertambah menderita juga” (Navis, 2010: 21)
-
“Kuceritakan dengan hati yang kecut”
(Navis, 2010: 23)
b. Simile
-
“Nama anaknya seolah ikut tercemar”
(Navis, 2010: 15)
-
“Dan semenjak itu, Ompi kurang punya kesabaran oleh kelambatan jalan hari, seperti calon pengantin yang sedang
menunggu hari perkawinan” (Navis, 2010: 17)
-
“Antara rusuh dan lega, Ompi gelisah juga menanti surat dari anaknya, layaknya macan lapar yang terkurung menunggu
orang memberikan daging” (Navis, 2010: 20)
-
“Ia merasa seperti bermimpi dan tubuhnya
serasa saringan kapas yang melayang ditiup angin” (Navis, 2010: 21)
-
“ Seluruh hidupnya bagai jadi meredup
seperti lampu kemersikan sumbu” (Navis, 2010: 21)
c. Hiperbola
-
“Pada suatu hari yang gilang gemilang, angan-angannya pasti merupa jadi
kenyataan” (Navis, 2010: 16)
-
“Bacakan pelan-pelan, biar sepatah demi bisa menjalari segala saraf-sarafku.
(Navis, 2010: 25)
-
“Sehingga ledakan kegembiraan ini tidak membunuhku” (Navis, 2010: 25)
d. Personifikasi
- “Maka
darah Ompi kencang berdebar” (Navis, 2010: 26)
- “ dan
telegram itu jatuh dan terkapar di pangkuannya” (Navis, 2010: 21)
3.2.8.
Amanat
a. Janganlah
menjadi orang yang sombong
b. jangan
menjadi orang yang suka berbohong
c. jadilah
orang yang baik dan suka menolong.
d. jangan
suka membuat orang tua kita khawatir
e. jadilah
orang yang bisa membuat bangga orang tua
f. jangan
menggunakan sesuatu yang baik untuk melakukan hal-hal yang tidak baik.
g.
berbaktilah kepada orang tua
h. jangan menyia-nyiakan pengorbanan
orang tua.
3.3
Unsur Ekstrinsik Cerpen Anak Kebanggaan.
3.3.1 Biografi A.A. Navis.
Haji Ali Akbar Navis (lahir di
Kampung Jawa, Padang Panjang, Sumatera Barat. 17 November 1924-meninggal 22
maret 2003 pada umur 78 tahun) adalah seorang sastrawan dan budayawan terkemuka
di Indonesia yang lebih dikenal dengan nama A.A Navis. Ia menjadikan menulis
sebagai alat dalam kehidupannya. Karyanya yang terkenal adalah Robohnya Surau
Kami. Navis ‘Sang Pencemooh’ adalah sosok yang ceplas-ceplos. Apa adanya, kritik-kritik
sosialnya mengalir apa adanya untuk
membangunkan kesadaran setiap pribadi agar hidup lebih bermakna. Ia selalu
mengatakan yang hitam itu hitam dan putih itu putih. Ia amat gelisah melihat
negeri ini digerogoti para koruptor.
Sepanjang
hidpnya kakek dari 13 orang ucu ini telah melahirkan ratusan karya. Pandangan
pria berdarang Minang ini mengenai karya sastra yang baik itu adalah keawetan
sebuah karya yang dihasilkan.
Navis
memulai pendidikan formalnya dengan memasuki sekolah Indonesisch Nederiandsch
School (INS) didaerah Kayutaman selama 11 tahun. Kebetulan jarak antara rumah
dan sekolah Navis cukup jauh. Pendidikan Navis secara formal hanya sampai di
INS, selanjutnya ia belajar secara otodidak. Akan tetapi kegemarannya membaca
buku (bukan hanya buku sastra juga berbagai ilmu pengetahuan lain) memungkinkan
intelektualnya berkembang.
Navis
memulai karirnya dibidang menulis di usia sekitar tiga puluhan, sebenarnya ia
sudah mulai aktif menulis dari tahun 1950, akan tetapi kepenulisannya baru
dikenal dan diakui sekitar tahun 1955 sejak cerpennya banyak muncul di beberapa
majalah seperti Kisah, Mimbar Indonesia, Budaya, dan Roman.
Karya-karya A.A Navis :
a. Cerita pendek
1.
Robohnya Surau Kami (Kumpulan cerpen), Jakarta:Gramedia,1986
2.
Hujan Panas dan Kabut Musim (kumpulan cerpen), Jakarta:Jambatan 1990
3.
“Cerita tiga malam”, Roman
4..
“Cinta Buta”, Roman
5.
“Terasing”
6.
“Man Rabuka”
7.
“Tiada membawa nyawa”
8.
“Perebutan”
9.
“ Jodoh”, Kompas.
b. Puisi
1.
Dermaga dengan Empat Sekoci (Kumpulan 34 puisi), Bukittinggi:Nusantara.
c. Novel
1.
Kernarau, Jakarta: GrasIndo,1992
2.
Saraswati si Gadis dalam sunyi, Jakarta
3.3.2 Psikologi Pengarang
Karena dipengaruhi oleh keadaan
lingkungan tempat tinggalnya yang kebanyakan para orang tua akan menyuruh
anak-anak lelakinya yang sudah cukup umur untuk merantau baik bekerja ataupun
menuntut ilmu, maka dari sisi psikologis pengarang terdapat rasa ingin melukiskan
bagaimana harapan dan perjuangan orang tua kepada anaknya agar dapat sukses.
3.3.3 Psikologi Pembaca
Setelah membaca cerpen Anak
Kebanggan karya A.A Navis, maka pembaca akan menyadari bahwa kasih sayang dan
harapan dari orang tua begitu besar kepada anaknya. Terlebih lagi berharap agar
anaknya menjadi orang yang sukses. Pembaca akan menyimpulkan bahwa pengarang
melukiskan tokoh Ompi sebagai orang tua yang akan melakukan segala cara agar
anaknya dapat sukses dan bahagia, walaupun terkadang menggunakan cara yang
salah.
Bukti kutipan :
“Aku bangga anakku. Baik engkau
menjadi dokter. Karena orang akan lebih banyak memerlukanmu. Dengan begitu kau
akan disegani orang. Ooo.. perkara uang? Mengapa tiga ribu, lima ribu akan
kukirim anakku, mengapa tidak?” (Navis, 2010 : 17)
“Untuk membuktikan kebenaran
suratnya, Ompi mengirimkan foto gadis yang kebetulan ada padanya. Tidak peduli
ia, apa foto itu gambar dari gadis yang sudah kawin atau bertunangan”. (Navis,
2010 : 20)
3.3.4. Keadaan lingkungan pengarang
A.A Navis merupakan sastrawan yang
dilahirkan di PadangPanjang, Sumatera Barat. Dan adat istiadat atau kebiasan
yang ada di kota tersebut adalah merantau bagi pemuda yang sudah cukup umur
untuk mengadu nasib ataupun hendak bersekolah. Oleh karena itu pada cerpen Anak
Kebanggaan dilukiskan bahwa Indra Budiman merantau ke Jakarta untuk bersekolah
dengan harapan kelak ia dapat menjadi dokter. Kebiasaan-kebiasaan atau adat
istiadat yang ada disekitarnya itulah yang sedikit memengaruhi jalan cerita dari
cerpen Anak Kebanggaan yang ditulisnya.
Bukti kutipan :
“Semenjak Indra Budiman berangkat ke
Jakarta, Ompi bertambah yakin, bahwa setahun demi setahun segala cita-citanya
tercapai pasti” (Navis, 2010 : 17)
3.3.5 Lingkungan Budaya
Terdapat
nilai budaya yang ada pada cerpen anak kebanggaan karya A.A Navis, yaitu ketika
penulis melukiskan bahwa terdapat adat ataupun budaya bahwa pihak gadis atau
perempuanlah yang datang meminang pria ketika hendak menikah. Hal tersebut
memang merupakan adat istiadat di PadangPanjang Sumatera Barat, tempat
kelahiran penulis.
Bukti
kutipan :
“Karena
di kampung kami pihak perempuanlah yang datang meminang, sudah tentu harapan
Ompi tinggal harapan saja” (Navis, 2010 : 19)
3.3.6.
Lingkungan Sosial
Pada
cerpen Anak Kebanggan karya A.A. Navis tersebut merupakan sebuah cerpen yang
mengangkat nilai sosial yang sarat akan makan yang patut untuk dijadikan
perenungan bagi generasi muda saat ini, melalui tokoh utama yaitu Ompi yang
berperan sebagai ayah, penulis menceritakan besarnya kasih sayang orang tua
terhadap anak semata wayang yang begitu ia banggakan sehingga rela menghabiskan
uang banyak untuk menopang hidup anaknya di kota. Namun sayang kebaikan yang
diberikan orang tua tidak dibalas baik oleh anaknya.
Bukti kutipan :
“Aku
bangga anakku. Baik engkau menjadi dokter. Karena orang akan lebih banyak
memerlukanmu. Dengan begitu kau akan disegani orang. Ooo.. perkara uang?
Mengapa tiga ribu, lima ribu akan kukirim anakku, mengapa tidak?” (Navis, 2010
: 17)
3.3.7
Lingkungan Politik
A.A
Navis adalah penulis yang dijuluki 'Sang Pencemooh’, beliau sosok yang
ceplas-ceplos, apa adanya. Kritik-kritik sosialnya
mengalir apa adanya untuk membangunkan kesadaran setiap pribadi, agar hidup
lebih bermakna. Ia selalu mengatakan yang hitam itu hitam dan yang putih itu
putih. Ia amat gelisah melihat negeri
ini digerogoti para koruptor.
Pada suatu kesempatan ia mengatakan kendati menulis adalah alat utamanya dalam
kehidupan tapi jika dikasih memilih ia akan pilih jadi penguasa untuk menangkapi
para koruptor. Walaupun ia tahu resikonya, mungkin dalam tiga bulan, ia justru
akan duluan ditembak mati oleh para koruptor itu.
Walaupun
dalam cerpen Anak Kebanggaan ia tidak terlalu melukiskan bagaimana keadaan
politik pada masanya, tetapi A.A. Navis adalah seorang penulis yang mengerti
akan politik dan ideologinya yang sangat kritis pada masanya telah membuat ia
dijuluki demikian, karena memang sifat dan wataknya yang gemar mengkritisi
apapun hal-hal yang ada disekitar lingkungannya.
BAB IV
PENUTUP
4.1
Simpulan
Pada cerpen Anak
Kebanggaan Karya A.A Navis dapat dikaji menggunakan pendekatan struktural,
yaitu dengan cara menganalisis dan mencari hal-hal yang termasuk ke dalam unsur
intrinsik dan unsur ekstrinsik pada cerpen tersebut. A.A Navis melukiskan
bagaimana harapan dan kasih sayang seorang ayah kepada ayahnya yang ternyata
tidak disambut baik dan tidak dibalas oleh sang anak. Dari cerpen tersebut juga
para pemabca dapat memetik banyak nilai-nilai kehidupan yang terkandung
didalamnya untuk dijadikan sebagai pembelajaran dikehidupan.
4.2
Saran
Sulitnya
memaknai sebuah karya sastra berdampak pada kurangnya penelitian-penelitian
terhadap karya sastra itu sendiri. Karya sastra dewasa ini semakin memisahkan
diri dari kehidupan masyarakat umum. Hanya golongan kecil saja yang akrab
dengan karya sastra, seperti golongan sastrawan, budayawan, pengamat dan
kritikus sastra.
Hal
yang paling dasar yang dapat dilakukan oleh siapapun untuk membedah makna suatu
karya sastra adalah dengan cara “menganalisis unsur-unsur pembangunnya” lebih
lanjut daripada itu dapat dilakukan kajian-kajian terhadap karya sastra dari
berbagai sudut pandangan.
Maka,
disarankan khusus kepada mahasiswa/mahasiswi jurusan bahasa atau sastra untuk
lebih banyak mengkaji karya sastra baik kajian dasar unsur pembangun karya
sastra maupun kajian-kajian lebih dalam daripada itu untuk memperkaya
pengetahuan dalam memaknai sebuah karya sastra.