Kamis, 14 Januari 2016

Analisis Struktural Cerpen Anak Kebanggaan (Pada Kumpulan Cerpen Robohnya Surau Kami) Karya A.A Navis

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
            Hal yang paling dasar yang dapat dilakukan oleh siapapun untuk membedah makna suatu karya sastra adalah dengan cara “menganalisis unsur-unsur pembangunnya” lebih lanjut daripada itu dapat dilakukan kajian-kajian terhadap karya sastra dari berbagai sudut pandangan. Pengkajian terhadap karya fiksi berarti menelaah, penyelidikan, atau mengkaji, menelaah, menyelidiki karya fiksi tersebut. Untuk melakukan pengkajian terhadap unsur-unsur pembentuk karya sastra, khususnya fiksi, pada umumnya kegiatan itu disertai oleh kerja analisis. Istilah analisis, misalnya analisis karya fiksi, menyaran pada pengertian pengertian mengurai karya itu atas unsur-unsur pembentuknya tersebut, yaitu yang berupa unsur-unsur intrinsiknya. (Burhan Nurgiyantoro, 2010:30)
            Karya sastra dibangun oleh unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik (intrinsic) adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur ekstrinsik (extrinsic) adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. (Burhan Nurgiyantoro, 2010:23)
            Berdasarkan uraian tersebut penulis tertarik mengangkat hal paling dasar untuk membedah makna sebuah karya sastra yaitu dengan “menganalisis unsur-unsur pembangun karya sastra” yang dalam hal ini dikhususkan pada pendekatan struktural pada cerpen yang terdapat pada bagian kumpulan Cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis.

1.2 Rumusan Masalah
            a. Apa yang dimaksud dengan cerpen?
            b. Apa yang dimaksud dengan pendekatan struktural?
            c. Apa saja bagian-bagian dari pendekatan struktural?
            d. Bagaimana menganalisis cerpen menggunakan pendekatan struktural?
           
1.3 Tujuan Penulisan
            a. Untuk mengetahui pengertian cerpen
            b. Untuk mengetahui pengertian pendekatan struktural.
            c. Untuk mengetahui bagian-bagian dari pendekatan struktural.
            d. Untuk mengetahui cara menganalisis cerpen menggunakan pendekatan struktural.


BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Pengertian Cerpen
   Definisi Cerpen Menurut Beberapa Pakar :
1.Joko Sumardjo
               Cerpen adalah cerita yang pendek. Pendek berarti cerita yanghabis dibaca sekitar 10 menit, atau sekitar setengah jam. Cerita yang dapat dibacasekali duduk. Atau cerita yang terdiri dari 500 hingga 5000 kata. Bahkan ada pulacerpen yang berisikan beberapa puluh dan ribuan kata, itulah yang dikatakan cerpenyang panjang. Pada umumnya cerpen-cerpen Indonesia bersikan 5-4 lembar foliodengan maksimal 20 lembar folio yang menggunakan spasi rangkap
2. Burhan Nurgiyantoro
               Cerpen adalah cerita sebagai sebuah narasi berbagaikejadian yang sengaja di susun berdasarkan urutan waktu.
3. Aminuddin
         Cerpen adalah kisahan cerita yang diemban oleh pelaku-pelakutertentu dengan pemeranan, latar, serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yangbertolak dari hasil imajinasi penceritanya sehingga menjalin suatu cerita.
4. Tarigan
               Cerpen adalah cerita rekaan yang masalahnya jelas, singkat, padat danterkonsentrasi pada satu cerita. Jadi, sangatlah jelas bahwa kelebihan cerpen yaitukemampuannya dalam mengemukakan secara lebih banyak dan implisit darisekedar apa yang diceritakan dan mengandung kesan tunggal.
5. Susanto
             Cerita pendek adalah cerita yang panjangnya sekitar 5000 kata ataukira-kira 17 halaman kuarto spasi rangkap yang terpusat dan lengkap pada dirinyasendiri.

2.2 Pengertian Pendekatan Struktural
               Pendekatan struktural merupakan pendekatan intrinsik, yakni membicarakan karya tersebut pada unsur-unsur yang membangun karya sastra dari dalam. Pendekatan tersebut meneliti karya sastra sebagai karya yang otonom dan terlepas dari latar belakang sosial, sejarah, biografi pengarang dan segala hal yang ada di luar karya sastra (Satoto, 1993: 32).            
               Pendekatan struktural mencoba menguraikan keterkaitan dan fungsi masing-masing unsur karya sastra sebagai kesatuan struktural yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 1984: 135).
               Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa pendekatan struktural adalah suatu pendekatan dalam ilmu sastra yang cara kerjanya menganalisis unsur-unsur struktur yang membangun karya sastra dari dalam, serta mencari relevansi atau keterkaiatan unsur-unsur tersebut dalam rangka mencapai kebulatan makna.
               Mengenai struktur, Wellek dan Warren (1992: 56) memberi batasan bahwa struktur pengertiannya dimasukkan kedalam isi dan bentuk, sejauh keduanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan estetik. Jadi struktur karya sastra (fiksi) itu terdiri dari bentuk dan isi.        Bentuk adalah cara pengarang menulis, sedangkan isi adalah gagasan yang diekspresiakan pengarang dalam tulisannya (Zeltom, 1984: 99).

2.3 Bagian-bagian Pendekatan Struktural
            2.3.1 Unsur Intrinsik
               Unsur intrinsik adalah Komponen atau bagian yang keberadaannya berfungsi untuk membentuk atau membangun sebuah karya sastra (Novel, Cerpen, Hikayat, Film dan lain sebagainya) yang berasal dari dalam karya sastra tersebut. Unsur intrinsik digunakan untuk menganalisis suata karya sasrta, sehingga dapat memudahkan pengamat untuk mengetahui dan memahami kandungan yang ada dalam sebuah karya sastra tersebut. (Aminudin, 1995:80).

            Macam-macam Unsur Intrinsik :
                        2.3.1.1 Tema
              Tema adalah pandangan hidup yang tertentu atau perasaan tertentu mengenai kehidupan atau rangkaian nilai-nilai tertentu yang membentuk atau membangun dasar/gagasan utama dari suatu karya sastra. (Tarigan, 1993:125)
                Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptanya. (Aminudin, 1995:91)
               Tema adalah dasar atau makna sebuah cerita, tema adalah pandangan hidup tertentu atau perasaan tertentu yang membentuk atau membangun dasar gagasan utama suatu karya sastra, dan semua fiksi harus mempunyai dasar atau tema yang merupakan sasaran tujuan. (Rusyana, 1988:67)
               Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian tema adalah gagasan pokok yang mendasari cerita dan memiliki kedudukan yang dominan sehingga dapat mempersatukan unsur secara bersama-sama membangun sebuah karya sastra.
                        2.3.1.2. Tokoh dan Penokohan
           
               Dalam pembicaraan sebuah fiksi ada istilah tokoh, penokohan, dan perwatakan. Kehadiran tokoh dalam cerita fiksi merupakan unsur yang sangat penting bahkan menentukan. Hal ini karena tidak mungkin ada cerita tanpa kehadiran tokoh yang diceritakan dan tanpa adanya gerak tokoh yang akhirnya menbentuk alur cerita. Rangkaian alur cerita merupakan hubungan yang logis yang terkait oleh waktu.
               Pendefinisian istilah tokoh, penokohan dan perwatakan banyak diberikan oleh para ahli, berikut ini beberapa definisi tersebut:
   a. Tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita (Nurgiyantoro, 2000: 165)
   b. Penokohan adalah bagaimana pengarang menampilkana tokoh-tokoh dalam ceritanya dan bagaimana tokoh-tokoh tersebut, ini berarti ada dua hal penting, yang pertama berhubungan dengan teknik penyampaian sedangkan yang kedua berhubungan dengan watak atau kepribadian tokot-tokoh tersebut (Suroto, 1989: 92-93).
 c. Watak, perwatakan, dan karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas peribadi seorang tokoh (Nurgiyantoro, 2000: 165).
   d. Penokohan atau karakter atau disebut juga perwatakan merupakan cara penggambaran tentang tokoh melalui perilaku dan pencitraan. Panuti Sudjiman mencerikan definisi penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh (1992: 23).
   e. Menurut Hasim dalam (Fanani, 1997: 5) bahwa penokohan adalah cara pengarang untuk menampilkan watak para tokoh di dalam sebuah cerita karena tanpa adanya tokoh, sebuah cerita tidak akan terbentuk.



                        2.3.1.3. Latar (setting)
               Kehadiran latar dalam sebuah cerita fiksi sangat penting. Karya fiksi sebagai sebuah dunia dalam kemungkinan adalah dunia yang dilengkapi dengan tokoh penghuni dan segala permasalahannya. Kehadiran tokoh ini mutlak memerlukan ruang dan waktu.
               Latar atau setting adalah sesuatu yang menggambarkan situasi atau keadaan dalam penceriteraan. latar adalah segala keterangan, petunjut, pengacuan yang berkaiatan dengan waktu, ruang dan suasana (Sudjiman, 1992: 46).
               Latar bukan bukan hanya menunjuk tempat, atau waktu tertentu, tetapi juga hal-hal yang hakiki dari suatu wilayah, sampai pada pemikiran rakyatnya, kegiatannya dan lain sebagianya. (Sumardjo, dkk. 1997: 76)
               Latar atau setting tidak hanya menyaran pada tempat, hubungan waktu maupun juga menyaran pada lingkungan sosial yang berwujud tatacara, adat istiadat dan nilai-nilai yang berlaku di tempat yang bersangkutan.
a. Latar tempat
               Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar tempat berupa tempat-tempat yang dapat dijumpai dalam dunia nyata ataupun tempat-tempat tertentu yang tidak disebut dengan jelas tetapi pembaca harus memperkirakan sendiri. Latar tempat tanpa nama biasanya hanya berupa penyebutan jenis dan sifat umum tempat-tempat tertentu misalnya desa, sungai, jalan dan sebagainya. Dalam karya fiksi latar tempat bisa meliputi berbagai lokasi.
b. Latar waktu
               Latar waktu menyaran pada kapan terjadinyaperistiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan sejarah. Pengetahuan dan persepsi pembaca terhadap sejarah itu sangat diperlukan agar pembaca dapat masuk dalam suasana cerita.
c. Latar sosial
               Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalan karya fiksi. Perilaku itu dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, pandangan hidup, pola pikir dan bersikap. Penandaan latar sosial dapat dilihat dari penggunaan bahasa daerah dan penamaan terhadap diri tokoh.

                        2.3.1.4. Sudut Pandang
               Sudut pandang merupakan posisi pengarang terhadap peristiwa-peristiwa dalam cerita sudut pandang (point of view) menyaran pada sebuah cerita yang dikisahkan. (Abrams, 1981;142 .dalam Nurgiyantoro, 2005; 248). Dalam cerita rekaan sudut pandang dianggap sebagai salah satu unsur fiksi yang penting dan menentukan.
               Sudut pandang merupakan teknik yang dipergunakan pengarang untuk menemukan dan menyampaikan makna karya artistiknya. Untuk dapat sampai dan berhubungan dengan pembaca. (Boot, dalam Stevick, 1967:89).

                        2.3.1.5 Alur/Plot
               Alur adalah rangkaian cerita yang oleh tahapan-tahapan peristiwa, sehingga terjadi sesuatu yang dihadirkan oleh tokoh dalam suatu cerita (Aminnudin, 1987: 83)
               Alur adalah suatu gerak yang terdapat dalam fiksi atau drama (Tarigan, 1985: 126)
               alur bukan sekedar urutan cerita dari A sampai Z, melainkan merupakan hubungan sebab-akibat peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain di dalam cerita. (Rusyana, 1987:67)
               Alur atau plot pada umumnya tunggal, hanya terdiri satu urutan peristiwa yang diikuti sampai cerita berakhir (bukan selesai) sebab banyak cerpen yang tidak berisi penyelesaian yang jelas, penyelesaian yang diserahkan pada interpretasi pembaca. Urutan peristiwa dapat dimulai di mana saja, misalnya dari konflik yang telah meningkat tidak harus bermula dari tahap perkenalan tokoh atau latar biasanya tak berkepanjangan. Berhubungan berplot tunggal konflik yang dibangun dan klimaks akan diperoleh pun biasanya bersifat tunggal pula. (Nurgiantoro, 2000:12)
   Dari penjelasan para ahli di atas, dapat kita simpulkan bahwa alur memiliki bentuk tahapan-tahapan rangkaian peristiwa sebagai berikut:
1.      Tahap pengenalan: pada tahap ini, alur menceritakan pelaku/tokoh ataupun latar cerita.
2.      Tahap penampilan: pada tahap ini menceritakan persoalan yang di hadapi pelaku cerita.
3.      Tahap konflik: pada tahap ini digambarkan terjadinya perbedaan pendapat atau permasalahan antara tokoh protagonis dan antagonis.
4.      Klimaks: pada tahap ini, pokok permasalahan sudah mencapai puncaknya.
5.      Tahap penyelesaian: pada tahap ini, permasalahan yang terjadi sudah dapat diatasi.

              
               2.3.1.6 Gaya Bahasa
                   Gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style. Kata style diturunkan dari kata Latin yaitu stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Keahlian menggunakan alat ini akan mempengaruhi jelas tidaknya tulisan pada lempengan tadi. Kelak pada waktu penekanan dititikberatkan pada keahlian untuk menulis indah, maka style lalu berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata secara indah. (Keraf, 2006, 112-113)

                        2.3.1.7 Amanat
               Amanat atau nilai moral merupakan unsur isi dalam karya fiksi yang mengacu pada nilai-nilai, sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan yang dihadirkan pengarang melalui tokoh-tokoh di dalamnya (Kenny, 1966: 89 dalam Nurgiyantoro, 2009:321).
               Amanat menurut adalah pesan-pesan yang ingin disampaikan pengarang melalui cerita, baik tersurat maupun tersirat. Berdasarkan pengertian tersebut amanat merupakan pesan yang dibawa pengarang untuk dihadirkan melalui keterjalinan peristiwa di dalam cerita agar dapat dijadikan pemikiran maupun bahan perenungan oleh pembaca Siswandarti (2009: 44)

            2.3.2.  Unsur Ekstrinsik
               Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur pembangun yang berada di luar teks sastra, tetapi secara tidak langsung memengaruhi bangun atau sistem organisme teks sastra. Atau, secara lebih khusus ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang memengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, namun sendiri tidak ikut menjadi bagian didalamnya. Walaupun demikian, unsur ekstrinsik cukup berpengaruh (untuk tidak dikatakan: cukup menentukan) terhadap totalitas bangun cerita secara keseluruhan. Oleh karena itu, unsur ekstrinsik sebuah novel haruslah tetap dipandang sebagai sesuatu yang penting.
               Unsur ekstrinsik dipahami sebagai unsur pembangun yang berasal dari luar teks sastra. Memahami karya sastra berdasarkan unsur ekstrinsik adalah memahami koneks dari karya sastra. Suatu karya sastra memiliki keterkaitan dengan kehidupan. Karya sastra diungakap mengenai latar belakang sosialnya, makna, amanat, sikap pengarang, dan nilai estetika (Mahayana, 2005:280).

            Macam / Jenis Unsur Ekstrinsik
                        2.3.2.1 Biografi Pengarang
               Menyangkut asal daerah atau juga suku bangsa, pekerjaan, agama , jenis kelamin, pendidikan, serta ideologi pengarang. Unsur-unsur tersebut sedikit banyak namun berpengaruh diisi novelnya. Sebagai contoh , novel yang dikarang orang Indonesia tersebut akan berbeda dengan novel yang dibuat oleh orang inggris, atau juga orang arab.

                        2.3.2.2 Psikologi Pengarang
         Psikologi pengarang merupakan suatu ungkapan keadaan jiwa yang mendasari seorang pengarang melukiskan suasana kejiwaan pengarang pada karya sastra yang merupakan hasil dari kreativitasnya, baik suasana sakit maupun emosi. Ataupun pengalaman pribadi pengarang atau bukan pengalaman pribadi yang tentunya pernah disaksikan oleh pengarang.
                        2.3.2.3. Psikologi Pembaca
               Psikologi pembaca merupakan suatu keadaan kejiwaan yang dimiliki oleh pembaca dalam membaca suatu karya sastra, penafsiran dari individu dengan individu yang lain akan berbeda ketika memahami suatu karya sastra, hal tersebut dipengaruhi oleh keadaan jiwa pembaca yang berbeda-beda pula.
               2.3.2.4 Lingkungan Budaya
               Merupakan lingkungan adat ataupun kebiasaan yang dilakukan di sekitar lingkungan kehidupan pengarang, adat dan kebiasaan ini juga biasanya adalah hal yang sering dilakukan oleh masyarakat dan berkembang dari generasi ke generasi, hal tersebut dapat memengaruhi pengarang dalam pembuatan karya sastra yang ditulisnya, karena bisa saja adat istiadat tersebut dillukiskan dan diceritakan pada karyanya.
               2.3.2.5 Lingkungan Sosial
Lingkungan sosial merupakan lingkungan sekitar tempat tinggal pengarang, lingkungan sosial disini berkaitan dengan masyarakat dan berbagai macam pemikiran, adat, dan kebiasaan dari lingkungan sosial masyarakat tersebut, sehingga dapat mempengaruhi ataupun dapat menjadi inspirasi bagi pengarang dalam membuat suatu karya sastra.
              

               2.3.2.6 Lingkungan Politik
Lingkungan politik merupakan suatu keadaan pada lingkungan pengarang ketika membuat suatu karya sastra, lingkungan politik yang sedang terjadi pada saat pengarang menciptakan suatu karya sastra akan mempengaruhi pemikiran dari pengarang tersebut dengan ideologi politik yang sedang terjadi pada masanya.
        
 BAB III
PEMBAHASAN

Analisis Struktural Cerpen Anak Kebanggaan

3.1 Sinopsis  Cerpen Anak Kebanggaan
            Dikisahkan ada seseorang yang bernama Ompi. Ia adalah seseorang yang kaya. Semenjak istrinya meninggal, perhatiannya ditumpahkannya pada anak tunggalnya. Yang awal mula dinamai Edward, kemudian berganti lagi menjadi Ismail. karena ada kabar yang tak mengenakkan mengenai nama-nama itu yang membuat Ompi naik pitam, dan setelah mengadakan kenduri maka nama anaknya itu berubah lagi menjadi Indra Budiman.
            Ompi sangat menginginkan anaknya yaitu Indra Budiman menjadi seorang dokter, bahkan ia sangat terobsesi sekali. Kemudian Indra Budiman pergi ke Jakarta. Dan hal tersebut membuat Ompi menjadi yakin bawa setahun demi setahun segala cita-citanya akan tercapai. Dan benarlah, setiap semester Indra Budiman mengirim rapor sekolahnya dengan angka-angka yang baik sekali. Hanya dalam tempo dua tahun, Indra Budiman menamatkan pelajarannya di SMA seraya mengantungi ijazah yang berangka baik.
            Semenjak itu Ompi kurang punya kesabaran oleh kelambatan jalan hari. Tapi semua orang tahu bahkan tidak menjadi rahasia lagi bahwa cita-cita Ompi hanyalah akan menjadi mimpi semata. Tetapi Ompi tidak percaya dan memaki serta menuduh semua manusia yang dianggap iri hati akan kemajuan yang akan dicapai anaknya. Dan ia mengirim uang lebih banyak untuk Indra budiman tanpa berpikir akibatnya. Dan akhirnya orang jadi kasihan pada Ompi, tak seorang pun lagi yang membicarakan Indra Budiman padanya, justru sebaliknya kini semua orang seolah sepakat saja untuk memuji-muji.
            Ketika Ompi tahu bahwa ada yang ingin menikah, ia merasa pula bahwa Indra Budiman sudah patut ditunangkan. Karena adat pada saat itu pihak perempuanlah yang datang meminang, sudah tentu harapan Ompi tinggal harapan saja. tapi Ompi tak mau mengerti dan sifatnya angkuh dan mudah tersinggung. Bahkan ia benci bukan kepalang pada orang-orang yang memiliki anak gadis cantik, dan bukan kepalang meradangnya ia jika tahu orang-orang mengawinkan anak gadisnya tanpa memperdulikan Indra Budimannya terlebih dahulu.
            Tetapi Ompi justru mengabarkan hal yang lain pada Indra Budiman, ia  mengatakan bahwa sudah banyak gadis cantik yang meminangnya, tapi ia tolak dengan alasan Indra Budiman lebih baik mencari calon di Jakarta yang akan sepadan dengan title yang akan didapatkannya kelak.  Celakanya, Indra Budian yang selama ini menyangka tak mungkin ia dimaui oleh orang kampungnya, lantas menjadi sangat percaya, tak teringat olehnya bahwa bohongnya kepada ayahnya selama ini sudah diketahui oleh orang kampungnya. Sejak itu berubahlah letak panggung sandiwara. Jika dulu sang anak yang berbohong, si ayah yang percaya, maka kini si ayah yang menipu, si anak yang percaya. Lalu si anak mengharapkan kepada ayahnya supaya dikirimi foto-foto gadis yang dicalonkan. Dan Ompi mengirimkan foto gadis yang kebetulan ada padanya, tidak peduli apakah gadis itu sudah menikah atau belum, dan masih hidup atau tidak.
            Semenjak itu surat dari Indra Budiman tidak pernah datang lagi, dan ia menjadi jatuh sakit. Ompi patah semangat dan menderita, dalam hidupnya hanya satu hal yang dinantikannya yaitu surat dari anaknya. Tapi pak pos tak kunjung datang, dan kemalangan bertambah lagi ketika Ompi menjadi lumpuh dan hanya bisa berbaring dikasurnya. Dan ia hanya bisa menanti pak pos dikasurnya dengan keadaan sakit-sakitan. Orang dikampung tak berani memanggil dokter, karena kedatangan dokter hanya akan memperdalam luka hatinya karena ingat anaknya yang akan menjadi dokter. Dan suatu hari pak pos datang bukan membawa surat, tapi telegram. Ompi dengan mata berkaca-kaca meminta tolong untuk dibacakan telegram itu pada seseorang, karena ia tak bisa membaca. Tetapi sebelum dibacakan, Ompi telah meninggal dunia sembari memeluk telegram dari anak kesayangannya.

3.2 Unsur Intrinsik
            3.2.1 Tema     : Harapan orang tua kepada anaknya
            3.2.2 Tokoh    :
            a. Ompi
            b. Indra Budiman
            c. Aku
            d. Orang-orang kampung
           
            3.2.3. Penokohan       :
            A. Ompi         
            a. Penyayang               :
            -  “Aku bangga anakku, baik jika engkau jadi dokter, karena orang lebih banyak memerlukanmu, dengan begitu kau disegani orang, oo perkara uang? Mengapa tiga ribu, lima ribu akan kukirim anakku, mengapa tidak?” (Navis, 2010: 17)
          - “Tapi karena sayang sama anak, ia terima juga nama itu, asal ditambah dibelakangnya dengan Indra Budiman”. (Navis, 2010: 16)
          b. Sombong                 :
               “Ah, aku merasa lebih berduka cita lagi, karena belum sanggup menghindarkan kemalangan ini. coba kalau Indra anakku sudah jadi dokter, pasti si mati ini akan dapat tertolong” katanya bila ada orang meninggal setelah menderita sakit”. (Navis, 2010: 16)
          c. Suka berbohong      :
           - “Tidak dikatakannya kemarahannya itu, malah sebaliknya dikatakannya banyak sudah orang yang punya gadis cantik datang meminang, tapi semua telah ditolak”. (Navis, 2010: 19)
           - “Untuk membuktikan kebenaran suratnya, Ompi mengirimkan foto gadis yang kebetulan ada padanya, tak peduli ia apa foto itu gambar dari gadis yang sudah kawin atau sudah meninggal”. (Navis, 2010: 20)
          d. Suka bermimpi        :
          - “Pada suat hari yang gilang gemilang, angan-angannya pasti menjadi kenyataan. Dia yakin itu, bahwa indra Budimannya akan mendapat nama tambahan dokter di muka namanya sekarang”.
          e. Mudah tersinggung :
          - “’Ke sekolah? Kenapa ke sekolah ia?’ Ompi merasa tersinggung” (Navis, 2010: 18)

          B. Indra Budiman
          a. Suka berbohong :
          “Tak teringat olehnya, bahwa bohongnya kepada ayahnya selama ini sudah diketahui oleh orang kampungnya”. (Navis, 2010: 20)
          b. Bejat           
          “Lupa bahwa semua mata orang kampungnya yang tinggal di Jakarta selalu saja mempercermin hidupnya yang bejat”. (Navis, 2010: 20)
          C. Aku
          a. Baik hati :
          - “Semenjak hari itu, berganti-ganti orang menyediakan diriku agar selalu didekat ompi”. (Navis, 2010: 23)
          - “Itulah sebabnya tak kusampaikan kepadanya bahwa hari perkawinanku sudah berlangsung, karena kau takut berita itu akan menambah penderitaannya”. (Navis, 2010: 23)
          D. Orang-orang kampung Ompi
          Orang-orang kampung Ompi tidak diceritakan secara mendetail, hanya sesekali muncul untuk mendukung jalannya cerita, oleh karena itu orang-orang kampung termasuk tokoh tambahan.

            3.2.4. Alur                              : Menggunakan alur maju
            3.2.5. Sudut Pandang            : Menggunakan orang pertama pelaku sampingan.
            Bukti kutipan  :
            - “Ompi terduduk di kursi, matanya cemerlang memandang tangganya diulurkannya kepadaku meminta telegram itu, aku merasa ngeri memberikannya, tapi aku tak bisa berbuat lain, telegram itu kusodorkan ketangannya, telegram itu digenggamnya erat, lalu didekapnya didadanya. “datang juga apa yang kunantikan” katanya”. (Navis, 2010: 25)
            - “Kulihat pak pos memasuki halaman rumah Ompi, tergesa-gesa aku menyongsong pak pos itu ke ambang pintu” (Navis, 2010: 24)

            3.2.6. Latar   
            a. Latar tempat            :
            - Diteras rumah Ompi
            “Kulihat pak pos memasuki halaman rumah Ompi, tergesa-gesa aku menyongsong pak pos itu ke ambang pintu” (Navis, 2010: 24)
            - Di kamar Ompi
            “Dan ia telentang di ranjangnya, enggan bergerak, sebuah kaca disuruhnya supaya dipasang pada dinding yang dapat memberi pantulan ke ambang pintu depan”. (Navis, 2010: 22)
            b. Latar waktu             :
            - Siang hari
            “Kulihat pak pos memasuki halaman rumah ompi, hari waktu itu jam sebelas petang”
            (Navis, 2010: 22)
            c. Latar Suasana          :
            - Menyenangkan
            “Ketika Ompi membaca surat anaknya yang memberitakan kemajuannya itu, air mata Ompi berlinang kegembiraan” (Navis, 2010: 22)
            - Menyedihkan
            “Aku sobek sampul yang kuning muda itu dengna tangan yang menggigil, sekilas saja tahulah aku, bahwa saat yang paling kritis sudah sampai dipuncaknya. Indra Budiman dikatakan sudah meninggal” (Navis, 2010: 24)
            “Kehadiran dokter itu menimbulkan risau hatinya karena ingat pada Indra budiman yang bakal jadi dokter tapi tak kunjung mengirimi surat lagi”. (Navis, 2010: 22)
            - Mengenaskan
            “Semenjak itu segalanya jadi tak baik. ia jatuh sakit, bahkan sampai mengigau, dan seleranya patah. Ompi bertambah menderita juga lahir dan batin”. (Navis, 2010: 21)
            “Namun kemalangan itu bertamabah lagi, yaitu ketika Ompi jatuh terduduk. Lama orang baru tahu dan memapahnya keranjanganya dikamar. Ompi jadi lumpuh dan habislah sejarah Ompi menanti di ambang pintu setiap sore”. (Navis, 2010: 22)

            3.2.7. Gaya Bahasa
            Pada cerpen anak kebanggaan, terdapat gaya bahasa yang digunakan. Yaitu :
a. Metafora
            - “Hatinya akan kecil bila dipanggil lain” (Navis, 2010: 15)
            - “Ketika tersiar pula kabar bahwa ada seorang Ismail terhukum karena maling dan membunuh. Ompi naik pitam” (Navis, 2010: 15)
            - “Sekarang kau dimongi orang-orang yang busuk mulut, anakku” (Navis, 2010: 17)
            - “Dan oleh seleranya yang patah. Ompi bertambah menderita juga” (Navis, 2010:           21)
            - “Kuceritakan dengan hati yang kecut” (Navis, 2010: 23)

b. Simile
            - “Nama anaknya seolah ikut tercemar” (Navis, 2010: 15)
            - “Dan semenjak itu, Ompi kurang punya kesabaran oleh kelambatan jalan hari, seperti calon pengantin yang sedang menunggu hari perkawinan” (Navis, 2010: 17)
            - “Antara rusuh dan lega, Ompi gelisah juga menanti surat dari anaknya, layaknya macan lapar yang terkurung menunggu orang memberikan daging” (Navis, 2010: 20)
          - “Ia merasa seperti bermimpi dan tubuhnya serasa saringan kapas yang melayang ditiup angin” (Navis, 2010: 21)
          - “ Seluruh hidupnya bagai jadi meredup seperti lampu kemersikan sumbu” (Navis, 2010: 21)

c. Hiperbola
          - “Pada suatu hari yang gilang gemilang, angan-angannya pasti merupa jadi kenyataan” (Navis, 2010: 16)
          - “Bacakan pelan-pelan, biar sepatah demi bisa menjalari segala saraf-sarafku. (Navis, 2010: 25)
          - “Sehingga ledakan kegembiraan ini tidak membunuhku” (Navis, 2010: 25)

d. Personifikasi
   - “Maka darah Ompi kencang berdebar” (Navis, 2010: 26)
   - “ dan telegram itu jatuh dan terkapar di pangkuannya” (Navis, 2010: 21)
  
3.2.8. Amanat
   a. Janganlah menjadi orang yang sombong
   b. jangan menjadi orang yang suka berbohong
   c. jadilah orang yang baik dan suka menolong.
   d. jangan suka membuat orang tua kita khawatir
   e. jadilah orang yang bisa membuat bangga orang tua
   f. jangan menggunakan sesuatu yang baik untuk melakukan hal-hal yang tidak baik.
   g. berbaktilah kepada orang tua
            h. jangan menyia-nyiakan pengorbanan orang tua.
           
3.3 Unsur Ekstrinsik Cerpen Anak Kebanggaan.
            3.3.1 Biografi A.A. Navis.
                        Haji Ali Akbar Navis (lahir di Kampung Jawa, Padang Panjang, Sumatera Barat. 17 November 1924-meninggal 22 maret 2003 pada umur 78 tahun) adalah seorang sastrawan dan budayawan terkemuka di Indonesia yang lebih dikenal dengan nama A.A Navis. Ia menjadikan menulis sebagai alat dalam kehidupannya. Karyanya yang terkenal adalah Robohnya Surau Kami. Navis ‘Sang Pencemooh’ adalah sosok yang ceplas-ceplos. Apa adanya, kritik-kritik sosialnya  mengalir apa adanya untuk membangunkan kesadaran setiap pribadi agar hidup lebih bermakna. Ia selalu mengatakan yang hitam itu hitam dan putih itu putih. Ia amat gelisah melihat negeri ini digerogoti para koruptor.
            Sepanjang hidpnya kakek dari 13 orang ucu ini telah melahirkan ratusan karya. Pandangan pria berdarang Minang ini mengenai karya sastra yang baik itu adalah keawetan sebuah karya yang dihasilkan.
            Navis memulai pendidikan formalnya dengan memasuki sekolah Indonesisch Nederiandsch School (INS) didaerah Kayutaman selama 11 tahun. Kebetulan jarak antara rumah dan sekolah Navis cukup jauh. Pendidikan Navis secara formal hanya sampai di INS, selanjutnya ia belajar secara otodidak. Akan tetapi kegemarannya membaca buku (bukan hanya buku sastra juga berbagai ilmu pengetahuan lain) memungkinkan intelektualnya berkembang.
            Navis memulai karirnya dibidang menulis di usia sekitar tiga puluhan, sebenarnya ia sudah mulai aktif menulis dari tahun 1950, akan tetapi kepenulisannya baru dikenal dan diakui sekitar tahun 1955 sejak cerpennya banyak muncul di beberapa majalah seperti Kisah, Mimbar Indonesia, Budaya, dan Roman.
Karya-karya A.A Navis :
a. Cerita pendek
            1. Robohnya Surau Kami (Kumpulan cerpen), Jakarta:Gramedia,1986
            2. Hujan Panas dan Kabut Musim (kumpulan cerpen), Jakarta:Jambatan 1990
            3. “Cerita tiga malam”, Roman
            4.. “Cinta Buta”, Roman
            5. “Terasing”
            6. “Man Rabuka”
            7. “Tiada membawa nyawa”
            8. “Perebutan”
            9. “ Jodoh”, Kompas.
b. Puisi
            1. Dermaga dengan Empat Sekoci (Kumpulan 34 puisi), Bukittinggi:Nusantara.
c. Novel
            1. Kernarau, Jakarta: GrasIndo,1992
            2. Saraswati si Gadis dalam sunyi, Jakarta


   3.3.2 Psikologi Pengarang
               Karena dipengaruhi oleh keadaan lingkungan tempat tinggalnya yang kebanyakan para orang tua akan menyuruh anak-anak lelakinya yang sudah cukup umur untuk merantau baik bekerja ataupun menuntut ilmu, maka dari sisi psikologis pengarang terdapat rasa ingin melukiskan bagaimana harapan dan perjuangan orang tua kepada anaknya agar dapat sukses.
           
            3.3.3 Psikologi Pembaca
               Setelah membaca cerpen Anak Kebanggan karya A.A Navis, maka pembaca akan menyadari bahwa kasih sayang dan harapan dari orang tua begitu besar kepada anaknya. Terlebih lagi berharap agar anaknya menjadi orang yang sukses. Pembaca akan menyimpulkan bahwa pengarang melukiskan tokoh Ompi sebagai orang tua yang akan melakukan segala cara agar anaknya dapat sukses dan bahagia, walaupun terkadang menggunakan cara yang salah.
Bukti kutipan :
               “Aku bangga anakku. Baik engkau menjadi dokter. Karena orang akan lebih banyak memerlukanmu. Dengan begitu kau akan disegani orang. Ooo.. perkara uang? Mengapa tiga ribu, lima ribu akan kukirim anakku, mengapa tidak?” (Navis, 2010 : 17)
               “Untuk membuktikan kebenaran suratnya, Ompi mengirimkan foto gadis yang kebetulan ada padanya. Tidak peduli ia, apa foto itu gambar dari gadis yang sudah kawin atau bertunangan”. (Navis, 2010 : 20)

   3.3.4. Keadaan lingkungan pengarang
               A.A Navis merupakan sastrawan yang dilahirkan di PadangPanjang, Sumatera Barat. Dan adat istiadat atau kebiasan yang ada di kota tersebut adalah merantau bagi pemuda yang sudah cukup umur untuk mengadu nasib ataupun hendak bersekolah. Oleh karena itu pada cerpen Anak Kebanggaan dilukiskan bahwa Indra Budiman merantau ke Jakarta untuk bersekolah dengan harapan kelak ia dapat menjadi dokter. Kebiasaan-kebiasaan atau adat istiadat yang ada disekitarnya itulah yang sedikit memengaruhi jalan cerita dari cerpen Anak Kebanggaan yang ditulisnya.
Bukti kutipan :
               “Semenjak Indra Budiman berangkat ke Jakarta, Ompi bertambah yakin, bahwa setahun demi setahun segala cita-citanya tercapai pasti” (Navis, 2010 : 17)


            3.3.5 Lingkungan Budaya
          Terdapat nilai budaya yang ada pada cerpen anak kebanggaan karya A.A Navis, yaitu ketika penulis melukiskan bahwa terdapat adat ataupun budaya bahwa pihak gadis atau perempuanlah yang datang meminang pria ketika hendak menikah. Hal tersebut memang merupakan adat istiadat di PadangPanjang Sumatera Barat, tempat kelahiran penulis.
          Bukti kutipan :
          “Karena di kampung kami pihak perempuanlah yang datang meminang, sudah tentu harapan Ompi tinggal harapan saja” (Navis, 2010 : 19)
         
3.3.6. Lingkungan Sosial
          Pada cerpen Anak Kebanggan karya A.A. Navis tersebut merupakan sebuah cerpen yang mengangkat nilai sosial yang sarat akan makan yang patut untuk dijadikan perenungan bagi generasi muda saat ini, melalui tokoh utama yaitu Ompi yang berperan sebagai ayah, penulis menceritakan besarnya kasih sayang orang tua terhadap anak semata wayang yang begitu ia banggakan sehingga rela menghabiskan uang banyak untuk menopang hidup anaknya di kota. Namun sayang kebaikan yang diberikan orang tua tidak dibalas baik oleh anaknya.
Bukti kutipan :
          “Aku bangga anakku. Baik engkau menjadi dokter. Karena orang akan lebih banyak memerlukanmu. Dengan begitu kau akan disegani orang. Ooo.. perkara uang? Mengapa tiga ribu, lima ribu akan kukirim anakku, mengapa tidak?” (Navis, 2010 : 17)

3.3.7 Lingkungan Politik
                        A.A Navis adalah penulis yang dijuluki 'Sang Pencemooh’, beliau sosok yang ceplas-ceplos, apa adanya. Kritik-kritik sosialnya mengalir apa adanya untuk membangunkan kesadaran setiap pribadi, agar hidup lebih bermakna. Ia selalu mengatakan yang hitam itu hitam dan yang putih itu putih. Ia amat gelisah melihat negeri ini digerogoti para koruptor. Pada suatu kesempatan ia mengatakan kendati menulis adalah alat utamanya dalam kehidupan tapi jika dikasih memilih ia akan pilih jadi penguasa untuk menangkapi para koruptor. Walaupun ia tahu resikonya, mungkin dalam tiga bulan, ia justru akan duluan ditembak mati oleh para koruptor itu.
                        Walaupun dalam cerpen Anak Kebanggaan ia tidak terlalu melukiskan bagaimana keadaan politik pada masanya, tetapi A.A. Navis adalah seorang penulis yang mengerti akan politik dan ideologinya yang sangat kritis pada masanya telah membuat ia dijuluki demikian, karena memang sifat dan wataknya yang gemar mengkritisi apapun hal-hal yang ada disekitar lingkungannya.





           























BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
            Pada cerpen Anak Kebanggaan Karya A.A Navis dapat dikaji menggunakan pendekatan struktural, yaitu dengan cara menganalisis dan mencari hal-hal yang termasuk ke dalam unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik pada cerpen tersebut. A.A Navis melukiskan bagaimana harapan dan kasih sayang seorang ayah kepada ayahnya yang ternyata tidak disambut baik dan tidak dibalas oleh sang anak. Dari cerpen tersebut juga para pemabca dapat memetik banyak nilai-nilai kehidupan yang terkandung didalamnya untuk dijadikan sebagai pembelajaran dikehidupan.

4.2 Saran
            Sulitnya memaknai sebuah karya sastra berdampak pada kurangnya penelitian-penelitian terhadap karya sastra itu sendiri. Karya sastra dewasa ini semakin memisahkan diri dari kehidupan masyarakat umum. Hanya golongan kecil saja yang akrab dengan karya sastra, seperti golongan sastrawan, budayawan, pengamat dan kritikus sastra.
            Hal yang paling dasar yang dapat dilakukan oleh siapapun untuk membedah makna suatu karya sastra adalah dengan cara “menganalisis unsur-unsur pembangunnya” lebih lanjut daripada itu dapat dilakukan kajian-kajian terhadap karya sastra dari berbagai sudut pandangan.
            Maka, disarankan khusus kepada mahasiswa/mahasiswi jurusan bahasa atau sastra untuk lebih banyak mengkaji karya sastra baik kajian dasar unsur pembangun karya sastra maupun kajian-kajian lebih dalam daripada itu untuk memperkaya pengetahuan dalam memaknai sebuah karya sastra.